| 6 | Arwah

264 18 4
                                    

"Ah, benar kan, kamu di sini..."

"... Hei, apa kabar ?"

"Kamu jangan sering-sering keluar kamar sendiri dong, aku yang nyari kan jadi pusing"

"Siapa suruh nyari coba ? Dasar"

Aku tertegun saat pandanganku berubah jadi layar televisi 32 inch yang digantung di sudut ruangan besar. Kulihat pot besar dibawahnya berisikan tanaman Lidah Mertua. Di sampingnya kulihat meja resepsionis dengan tanaman Gerber Daisy sebagai penghias. Sirih Gading menggantung di dekatnya. Tanaman-tanaman yang sering kulihat ada di ruang guru dan ruang BK di sekolah. Di dekat tempatku duduk ada pot yang lain berisikan Bunga Krisan. Aku tahu karena Ibu merawat Bunga Krisan di kamarnya.

Aku beralih menatap pemuda berambut cepak yang berdiri tepat di depanku. Aku bisa melihat bulir-bulir keringat di pelipisnya yang membasahi ujung rambutnya dan nafasnya yang agak terengah-engah menandakan ia baru saja berlari.

"Yakin kamu nggak apa-apa nggak di kamar ?"

"Aku sedang tidak ingin di kamar"

Aku diam saja sambil mendengarkan percakapan yang terdengar sangat dekat denganku ini. Suara gadis yang terdengar lemah itu sempat menarik perhatianku, terdengar lirih dan serak.

Pemuda berambut cepak itu tersenyum dan tiba-tiba saja menepuk-nepuk kepalaku. Aku terdiam kaget. Belum sempat aku buka mulut sebuah tangan reflek menepis tangan pemuda itu dan pemuda itu pun tertawa renyah.

Aku tertegun. Tangan putih kurus yang baru saja menepis tangan pemuda itu bukan tanganku. Aku melirik lenganku, kakiku, pakaianku. Ini semua bukan aku.

"Apaan sih"

Suara gadis itu. Suara itu keluar dari bibirku. Aku baru saja menyadari, tubuh yang sejak tadi kukira tubuhku ini bukan tubuhku sendiri. Aku tidak memiliki kontrol atas tubuh ini. Tubuh ini milik gadis yang sejak tadi berbicara dengan pemuda berambut cepak itu. Aku merasa seperti berada di dalam tubuh gadis ini.

Apa-apaan ini ?

Aku terdiam. Tidak tau harus berbuat apa.

Pemuda berambut cepak itu beranjak duduk di sampingku sambil menghembuskan nafas panjang. Satu tangannya ia masukkan ke dalam saku celana jins yang dipakainya sedang tangannya yang lain memainkan ujung lengan jaketnya.

Di luar dugaan, aku sama sekali tidak merasa panik. Aku perhatikan lagi ruangan ini. Kulihat beberapa pasien yang berjalan-jalan ditemani wanita berpakaian suster dan meja resepsionis yang diisi oleh orang-orang yang juga berpakaian suster. Lift di sudut ruangan terbuka dan kulihat pria tua yang memakai jas putih panjang keluar dari lift. Dokter. Ini seperti di lounge rumah sakit.

"Ngapain kok tiba-tiba kemari ? Tugasmu udah kelar ?" suara lirih gadis itu terdengar makin lirih. Aku bingung bagaimana harus merespon situasi ini.

"Ih, dingin amat. Masa nggak ada yang mau diobrolin ? Lama nggak ketemu juga"

"... Aku baru lihat hantu..."

"Hah ?! Mana ?"

"Nih" kelakarnya sambil menunjuk si pemuda

"Eh, sial lu ya"

Hening. Gadis ini maupun pemuda itu tidak lagi bertukar suara. Keduanya diam, sama-sama menyibukkan diri dengan pikiran masing-masing.

"Dokter Alvin sudah menemuimu ?" tanya pemuda itu lagi

Gadis ini menganggukkan kepalanya dalam diam. Pemuda itu tidak bertanya lebih jauh lagi, hanya tersenyum serba salah. Aku tidak mengerti.

Our Box of FigureWhere stories live. Discover now