| delapan

4.7K 415 5
                                    


"Gimana nih yang pengantin baru," Rana Widjojo yang kini berubah menjadi Rana Mahzar, sepupuku tercinta mencium kedua pipiku dan tersenyum lebar menggodaku. Seorang sepupu yang selalu influential dalam kehidupan semua saudaranya. Memperhatikan semua saudaranya tanpa terkecuali. Seperti Irene yang kini berkuliah di Traverse City, tempatnya bersekolah dulu.

"Apaan sih lo,"

Ia terkekeh seolah tidak ada yang salah dengan pertanyaannya, "Kan gue penasaran,"

"Lo udah punya pengalaman sendiri. Gak usah nanya - nanya cerita orang ya," jawabku dengan nada bercanda. Ia tertawa kecil dan duduk di sofa.

"Lo sedang isi?"

"Iya, begitulah,"

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluknya dan mengucapkan selamat. Aku tahu Rana memiliki kisah pernikahan yang complicated, yang kemudian berakhir bahagia bersama Vian, cinta pertamanya. Rana adalah salah satu jejeran sahabatku dalam kelompok, "Anti-dijodohkan," di keluarga Widjojo. Orangtua kami sama - sama desperate karena kedua anaknya tidak memiliki pasangan. Dua tahun lalu, Rana menemukan pasangannya dan menikah. Berhasil melepaskan dirinya dari kelompok itu dan membuat Mamaku semakin panas untuk menjodohkanku.

"Udah deh, gue kesini bukan untuk gue. Tapi lo. Bagaimana dengan pernikahan lo,"

Beberapa waktu yang lalu ia mengucapkan selamat karena aku tidak dijodohkan seperti dirinya. Kelompok yang perlu diberi selamat, katanya. Padahal seharusnya aku yang mengatakan hal itu. Karena ia berhasil menikah dengan orang yang ia cintai dan aku yakin akan mencintai terus. Vian adalah lelaki yang bisa dipercayai. Berbeda dengan pernikahan yang aku jalani.

"Everything is handled well." kujawab dengan jujur. Tidak ada yang tidak baik dalam pernikahan ini.

Alex yang menikah denganku minggu lalu masih menjadi lelaki yang sama yang kukenal di Merapi enam bulan yang lalu. Meskipun dengan semua keributan persiapan pernikahan kami, tidak ada yang berubah dengannya. Ia masih menyukai nasi Padang dan membuatku masak setiap hari karena asisten dirumah kami adalah orang Jawa. Masih suka berbicara tentang hal - hal berhubungan dengan alam. Masih bercerita tentang pekerjaannya.

Semua berjalan dengan baik. Kami berdua memegang komitmen yang kami buat sebelum menikah. Kita memberikan kebebasan pada satu sama lain. Kebebasan untuk bekerja. Jika biasanya aku membuat satu kopi untuk diriku sendiri, maka aku membuat dua kopi yang kuberikan untuknya. Menikmati nonton berita pagi. Runitas yang sudah kami lakukan dalam satu minggu belakangan ini.

"How's the first night?" Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak bersemu merah dengan pertanyaan itu.

He is physically attractive. Memiliki otot lengan yang kokoh, dadanya bidang dan otot perut yang merupakan hasil fitness dua kali seminggunya. Apalagi ia merupakan tipe lelaki yang menarik perhatianku. Bohong jika aku tidak menyukainya.

Bagaimanapun lelaki yang berhasil melewati syarat dari Papa, dan akhirnya mengajakku sholat malam itu, lalu menyentuh tanganku, memulainya dengan doa yang sudah ia hapalkan, mencium keningku dan menciumku lembut. Siapa yang tidak luruh dibuatnya? Aku masih perempuan yang bisa tergila - gila dengan hal seperti itu.

"It was great."

Rana tertawa kecil, sialan. Padahal aku tahu jelas kejadian malam pertama dirinya yang lucu itu.

"How many rounds?"

Aku membulatkan mataku, "I won't tell you,"

"Bet that he is good in bed,"

Aku mengangguk, "Yaya,"

"Terus?"

"Terus apa?"

"Ya apa gitu. Gimana rasanya menjadi bagian dari keluarga Wijaya?"

Bilang saja aku perempuan yang bodoh. Dua puluh hari sebelum aku menikah dengannya, aku baru tahu bahwa Alex yang bernama lengkap Alex Chandra Wijaya adalah lelaki yang beruntung. Selain kecerdasan dan tampang yang ia miliki, ia memiliki keluarga yang sangat beruntung. Ayahnya adalah seorang pengusaha televisi di Indonesia yang juga merupakan orang yang dihormati di berbagai kalangan, termasuk politik. Ibunya, seorang sosialita ternama di Indonesia dan designer terkenal. Siapa yang menyangka aku menikah dengan keluarga Wijaya yang ternyata terkenal itu? Aku tidak membaca apapun tentang Indonesia dan jelas, aku benci arisan dan pesta.

Aku harus terima bahwa pernikahanku mengundang Menteri Komunikasi, Gubernur Kepulauan Riau, dan berbagai pengusaha Batam berjejer di undanganku. Ketika aku menghindari koneksi orangtuaku yang berlebihan, aku malah terperangkap di dalamnya. Papa dan Mama saja tidak pernah mengajakku ke acara mewah yang dihadiri orang ternama seperti itu karena mereka tahu aku tidak akan menyukainya. Aku merasa pernikahanku seperti sebuah pernikahan abad ini dengan semua berita di majalah yang menyebutkan bahwa aku baru saja menikahi salah satu bachelor ternama dan terkaya di Indonesia yang kebetulan tinggal di Batam.

"Kita juga undang Jerry Aurum?" Tanyaku berusaha untuk tidak berteriak semangat pada Alex saat itu.

"Fotografer yang bahkan mengambil seni di kotoran banteng itu," ucapku sekali lagi yang ia balas dengan kekehan.

"Iya, Rania. Kenapa memangnya?"

Aku mengingat artikel fotografi yang kubaca beberapa tahun yang lalu.

"Dia seorang kenalan juga. Sebenarnya aku mau dia yang foto pre wedding, tapi dia gak suka foto orang."

Aku menggeleng, ini bukan masalah foto pre wedding dengan Jerry Aurum. Tapi betapa luasnya pertemanan yang Alex miliki. Mungkin karena dulu aku bersekolah di private school yang diisi oleh anak pengusaha Indonesia yang biasanya akan meneruskan perusahaan keluarga mereka dan kuliah di luar negeri. Aku tidak pernah memiliki teman dengan berbagai pekerjaan dan bidang. Sure, I have a few designer friends and models. Tapi tidak dengan list yang dimiliki Alex.

Aku terlalu sederhana untuk dibandingkan dengan pergaulannya.

"Apparently, great life comes with great money and great responsibility," Ia tertawa mendengarku. Aku tahu dia juga merasakan hal yang sama. Hanya, mungkin untukku yang terbiasa memilih jalan hidupku sendiri yang berbeda dengan keluargaku lainnya membuatku sulit beradaptasi dengan Alex dan latar belakangnya.

Rana tertawa kecil mendengarku, "Uang bulanan lo aman terus ya,"

Aku mengangguk semangat mengingat black card yang diberikan Alex padaku dari minggu lalu.

"How do you enjoy your marriage life?" Tanya Rana dengan nada penasaran.

Aku menyentuh cincin yang ada di jemariku saat ini dan tersenyum.

You know what, Rana. I can't answer that one either.

*

Mountain Commitment (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang