Semuanya masih baik - baik saja. Setidaknya itu yang menjadi isi pikiranku saat ini, katanya harapan seseorang akan menjadi kenyataan.
Dan entah kenapa, kali ini aku menunggu keajaiban.
Aku tumbuh menjadi orang yang berpikiran terbuka dengan saudara - saudara disekitarku, juga dengan kehidupanku selama kuliah dulu. Tidak ada hal yang tabu bagiku.
Seperti tidak ada yang salah, aku menghabiskan waktu kuliahku sesekali dengan menyambangi klub dan bar - bar malam yang menyenangkan, bermain - main dengan beberapa lelaki.
Tak jarang teman - temanku yang dulu kuanggap terlalu bodoh mendapatkan dirinya terlambat datang bulan, entah hasil one night stand atau dengan pacar mereka. Aku juga yang memberi saran bagi mereka yang tak ingin bertanggung jawab untuk merelakan.
Kini aku mendapatkan karma dari ucapanku dulu, it would never be just fine for you losing your baby that way. Yang sudah hadir tidak akan bisa dilupakan.
Semalam penuh kepalaku dipenuhi dengan ketakutan akan dosa jika aku melakukannya, maka dengan berani aku meninggalkan hotel yang aku tinggali bersama Alex tadi malam dan menemui sahabatku di Surabaya, sendirian.
Dera menyambutku sangat antusias seperti waktu dulu kami studi bersama, ia juga mempersilahkan ku untuk menginap di kamar tamu rumahnya yang besar.
"Mending gue nginep di hotel deh, Der." Kataku sedikit tidak enak. Ia menggerakkan tangannya tanda tidak setuju, kebiasaannya sejak dulu tidak berubah, berlebihan.
"Gak bisa, kapan lagi lo main ke Surabaya. Susah gue mujuk lo datang sini, eh nongol sendiri,"
Aku tertawa mendengar cerocosannya yang terdengar familiar.
"Terserah deh, asal laki lo gak marah,"
Jawabku enteng. Ia mengangguk semangat, "Tenang, Pak Dokter mah pulangnya malam terus kalau hari biasa, bisalah kita nongki dulu,"
Dera menjawab dengan bahasa ajaib yang sering ia gunakan sejak dulu.
"Minum dulu woy,"
Katanya menunjuk cangkir teh yang telah disiapkan.
"Thanks,.
Aku menyesap teh hangat itu dan membalas dengan senyuman kearahnya. Dera benar - benar tidak berubah, bahkan ketika telah menikah dengan seorang dokter ahli yang super sibuk dan terkenal pendiam dan memiliki seorang putri yang cantik.
Jika saja aku seperti Dera, bisa percaya tentang cinta dan memilih menikah dengan orang yang ia cintai. Berandai - andai memang terasa menyenangkan, sampai di titik kamu sadar kamu beradai di tempat yang sama. Dan tidak akan ada yang berubah.
"Gimana sama si Alex? Gak lo ajak?" Tanyanya.
Aku menggeleng santai, "Ngapain? Gue kesini mau main - main sama lo kok, bukan ngurusin dia."
Kata orang jika kamu berbohong sekali, kamu akan berbohong dua kali untuk hal yang sama. Dan meskipun aku tau itu akan terjadi, rasanya lebih baik jika Dera tidak tahu apa - apa tentang itu.
"Dasar lo, masih aja ya punya pikiran jadi wanita bebas dan memimpin orang lain, instead of being led of your man?"
Ucapnya. Aku tertawa seraya mengingat masa lalu, sadar bahwa sejak dulu aku masih orang yang sama.
"Ya gitu lah,"
"Itu juga kan alasan Ferrel putus sama lo?"
Ujarnya lagi. Berhasil membuatku meneguk ludah dengan sulit.
"Dera, omongan lo,"
"Loh, bukannya gue benar ya? Rania, sampai kapan lo mau seperti ini?"
Aku sama sekali tidak merasa sakit hati dengan ucapannya, Dera mengenalku sangat baik dan aku memahami perkataannya.
Masalahnya sekarang adalah gue sendiri gak tau apa yang gue pikirkan, Dera. Teman lo ini benar - benar dalam masalah saat ini.
***
Haloooo. Sudah lama gak update ya aku? Hehe... Ujian masih berjalan, tapi rasanya gak tahan lama - lama jauh dari wattpad. Apalagi teman - teman wattpaders ku yang sibuk mengejek karena aku sok - sok menjauh dari wattpad katanya.
Ini pendek banget ya chapternya?
Vomment ditunggu guys. Terima kasih sudah membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mountain Commitment (completed)
Romance[Under seventeen, please don't read this} Alex doesn't trust the word love, and Rania fears love. Both of them met in Marapi Mountain in Sumatra. The coincidence and the friendship between two mountain lovers, they decided to get married. One is to...