| tiga puluh satu

3.5K 319 0
                                    

15+
Warning

Alex mengeluarkan deheman pelan memecahkan suasana yang terasa aneh. Dan aku sangat membenci sikapnya itu. Aku baru saja menikmati wajah Mara dan Ibunya yang kaget setengah mati dan Ibu mertuaku yang begitu senang.

"Kamu serius sayang?" Tanya Tante Rumi, aku tersenyum senang.

"Iya tan, jadinya naik gunungnya ditunda dulu deh, padahal Alex udah nyiapin semuanya," Ucapku dengan nada sedih.

Aku tau sikapku sedikit kekanakan, tapi aku begitu penasaran dengan sikap laki - laki yang ada di sampingku ini dan perempuan di hadapanku. Aku yakin mereka memiliki hubungan yang kuat melihat wajah Alex yang tak tenang dengan kehadirannya.

"Jadi kamu keluar negeri kuliah ya? Kedokteran?" Tanyaku pada Mara. Ia tersontak dengan pertanyaan yang tiba - tiba keluar dari mulutku.

Ia mengangguk, memberikan senyum tipis, "Iya,"

Aku tersenyum, setidaknya kesopanannya padaku bisa kuterima.

"Berapa lama disana?"

Ia tampak tidak nyaman dengan pertanyaanku, namun tetap membalasnya, "Sembilan tahun,"

Alex melirikku tak nyaman, dan aku sangat menyadari hal itu. Jika perempuan ini telah meninggalkan Alex demi sekolahnya selama sembilan tahun, dan Mara ini memiliki usia yang sama dengan Alex. Bukankah itu berarti Alex sudah sangat serius dengan perempuan ini sejak mereka masih sangat muda.

Pikiran itu mengangguku, dan menyebalkan untukku mengetahuinya.

"Kamu dekat banget ya sama Alex sampai baru sampai langsung kesini, aku senang sahabat suami aku sangat perhatian," Ucapku anggun, memberikan senyuman semanis mungkin padanya. Wanita yang tampaknya tidak mengerti kodeku tersenyum saja, aku jadi berpikir kalau ide untuk datang ke rumah ini adalah dari Ibunya, bukan dia. Karena wanita itu sibuk memuji Alex tanpa jemu.

Alex meregang dasinya, mungkin memahami suasana panas yang mulai tercipta disini.

"Rania, kamu perlu istirahat," Katanya lembut. Seandainya saja Mara ini tidak ada di hadapanku sekarang, aku akan berpikir dia mulai menyukaiku. Mungkin.
Tapi faktanya, aku bisa melihat jelas ketidaknyamanan yang ada diantara mereka berdua. Dan lelaki disampingku ini membuatku takut, takut ia akan kembali dengan orang yang katanya ia cintai.

"Terima kasih Lex, kamu tau aja aku capek," Ucapku menyentuh tangannya. Sorot matanya terus melihat kearah Mara yang kaget dengan gestur romantis yang kuberikan pada Alex.

Ibu Mertuaku, Nyonya Wijaya tampak bersemangat, "Kamu memang harus istirahat sayang, pasti kamu kecapekan banget, temenin gih Lex,"

Aku tersenyum kearahnya dan perlahan berdiri meninggalkan ruang tamu. Alex menyusulku dibelakang.

"Rania," Laki - laki ini memanggil namaku dengan caranya lagi, nada bicara serius yang sangat kukenal.

"Kamu sendiri yang bilang aku butuh istirahat, Lex," Kataku menghalanginya berbicara lagi. Ia menatapku sekali lagi, memberikan raut wajah perduli.

"Kamu kecapekan?"

"Aku baik, jadi kamu balik aja kesana, mungkin ada banyak hal yang mau kamu bicarakan dengan Mara," Ucapku menarik selimut.

"Kamu tau apa tentang aku dan Mara?"

"Aku gak tau apa - apa, emangnya ada apa?" Aku memasang ekspresi polos.

"Menurut kamu, aku pengen ketemu sama dia?" Tanyanya padaku. Aku mengendikkan bahu santai.

"Mana aku tau, Lex. Aku gak tau apa - apa tentang apa yang terjadi di hidup kamu dan pikiran kamu, jadi jangan nanya - nanya sama aku deh," Kataku lagi.

Pikiranku terasa lari entah kemana, begitu juga perasaanku. Kali ini terbayang wajah Alex yang menatap Mara penuh emosi yang gak bisa aku definisikan. Apakah itu ekspresi rindu, cinta atau benci? Aku gak mengerti sama sekali.

Alex menatapku dalam, dan aku masih bertahan dengan ekspresi yang sama. Ia menghembuskan napas dalam lalu duduk di hadapanku.

"Lagipula aku gak punya hak, Lex," Tambahku.

"Kamu sudah lihat ekspresi aku di kursi itu, kan?"

Aku tertawa mendengarnya, "Aku bahkan gak bisa menilai ekspresi kamu, Lex. Udah deh, aku capek, mau tidur," Ucapku dengan maksud mengusirnya dari kamar ini.

"Senang banget ya kamu kalau suami kamu ketemu sahabat lamanya?" Selama pendengaranku masih berfungsi dengan baik, aku bisa mengatakan bahwa ia baru saja memberikan kalimat sarkatis padaku.

"Kalau iy-" Ucapanku terputus dengan sesuatu yang menempel di bibirku. Ia mengulumnya dengan kasar dengan tangannya yang menahan leherku.

Aku menutup mataku mengikuti permainannya, tangannya bergerak ke punggungku ketika ia berhasil menggigit bibirku dan masuk ke dalam mulutku.

Permainan ini berakhir dengan aku yang mendorongnya karena kehabisan napas, dan ia melepaskan pegangannya.

"Aku benci dia, aku cuma suka sama ini, jangan biarkan suami kamu ini dideketin sama dia, Rania," Ucapnya lalu mengusap kepalaku.

Ia meloloskan dasi yang sudah ia tarik tadi dan melepaskannya dengan mudah. Ia beranjak ke sebelahku dan berbaring.

"Aku juga butuh tidur," Tutupnya sebelum ia memejamkan mata. Dan laki - laki ini berhasil meninggalkanku terbangun seharian memikirkan alasan ia menciumku seperti itu.

Alex, berapa banyak kamu sudah dilukai oleh perempuan itu?

***

Halo guys. Aku update lagi. Believe me or not, aku nulis cerita ini setelah mengerjakan UN hari pertama. Yuhuu! Murid teladan disini. Lol

Bagaimana menurut kalian cerita ini? Aku cukup senang ada yang baca dan vote cerita ini. Please vomment untuk meningkatkan cerita ini, kadang aku bertanya - tanya jika cerita ini cukup baik untuk dibaca.

Terima kasih!

Mountain Commitment (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang