| empat puluh tiga

4.1K 322 2
                                    

"Rania, kamarnya sudah selesai," Kata Alex dengan semangat. Aku menoleh kearahnya, "Benarkah?"

Ia mengangguk, "Ayo lihat,"

"Harus lihat sekarang?" Tanyaku malas. Sejujurnya aku sudah nyaman dengan posisiku memegang remot tv dan berbaring di sofa ini.

Aku melihat wajahnya, dan memilih berdiri, sejujurnya jarang sekali aku melihat wajah sangat bahagianya itu. Aku tidak ingin menganggu hari baiknya.
"Jangan kaget ya,"

Dia membuka pintu bayi kami yang terhubung dengan kamar utama. Luar biasa. Aku memekik dalam hati.

Ruangan bayi ini terlihat cantik, dengan dinding bercat kuning. Box bayi yang dipasang oleh Alex dengan semangatnya. Ayunan bayi. Lemari bayi kami yang lucu. Semua yang berhubungan dengan bayi.

Mataku memanas karena haru. Aku menoleh kearahnya dan memeluknya erat.

"Terima kasih,"

"Ini sudah tugasku, membahagiakan anak kita nanti," Ucapnya datar. Tapi aku merasakan ketulusan didalamnya.

"Mulai hari ini, kamu bisa membeli apapun untuk anak kita. Aku ingin anak kita tumbuh menjadi orang paling bahagia nantinya," Tambahnya lagi.

"Kamu akan jadi ayah yang luar biasa, Lex," Ungkapku jujur. Aku menyatukan jari - jariku disela tangannya yang besar dan hangat.

"Dan kamu akan jadi ibu yang terbaik, Nia," Sudah lama aku tidak mendengar Alex memanggilku dengan Nia. Aku tersenyum.

"Alex, terima kasih telah membuat aku merasa dicintai,"

Tangan kami masih menyatu, aku menoleh kearahnya yang memandang karyanya dengan bangga. Dan mengecupnya singkat.

"Aku cinta sama kamu, sangat,"

***

Aku sudah tidak sabar bertemu dengan keponakanku itu. Jika dihitung - hitung, bayi Rana telah berusia lebih dari satu bulan sekarang.

Beruntung, Alex yang sibuk ini rela mengantarku mengunjungi sepupuku yang bawel itu. Bisa ngamuk berat anak itu jika hari ini aku masih tidak mendatangi rumahnya.

"Disini deh rumahnya," Kataku menghentikan Alex. Ia memarkir mobil kami dan membuka pintuku, jangan tanyakan aku sejak kapan dia menjadi orang yang manis seperti ini. Ia juga dengan cepat membawa hadiah untuk Rana.

Tidak butuh waktu lama, Rana sudah berada di depan kami dengan wajah cerahnya.

"Nia, akhirnya lo datang juga," Ia bersemangat. Aku memeluknya singkat dan tersenyum.

"Lo bawel mulu sih, ngancem - ngancem," Kataku tertawa kecil.

Dia tertawa, "Masuk juga, Lex. Gue panggilin Vian bentar," Ucap Rana mengarahkan kami ke ruang tamu.

Rana kembali dengan seorang bayi dan Vian yang sepertinya bersantai dirumah.

"Wah, bayinya lucu banget," Kataku cepat mengambil bayi itu dari gendongan Rana. Ia terkekeh.

"Lucu deh bayinya, Lex," Alex mendekat dan memegang pipi bayi mungil ini.

"Bayi kita juga akan selucu ini kok," Celetuknya dengan wajah tanpa dosa. Vian terkekeh dan Rana tertawa puas. Ini suami gue kadang mulutnya santai banget ya?

"Bener tuh. Untung lo ikutin saran gue bikin bayi sendiri,"

Dengan cepat aku menyuruh Rana untuk tutup mulut, kan gak lucu kalau sampai Alex mikirnya aku yang sengaja punya bayi. Sebelum aku tau aku akan memiliki anak, aku tidak terpikirkan sekalipun tentangnya.

Tapi memang dasarnya Alex yang gak peka dengan lingkungan. Dia berlalu begitu aja, tidak mengacuhkan ucapan Rana dan mengikuti Vian yang mengajaknya ngobrol ke taman belakang.

Aku merasa lega, "Lo mulut dijahit dikit dong, sambel banget,"

Dia tertawa puas, "Bukannya emang lo ngikutin saran gue ya?"

Seandainya aku tidak menggendong bayi, aku sudah memukul kepalanya itu. Sepupu yang aneh.

"Kepikiran aja enggak. Udah deh," Aku mengembalikan bayi ini ke tangan Ibunya.

"Terus gimana? Lo sudah menemukan hal yang tidak bisa orang lain lakukan ke dia?" Tanya Rana dengan nada berbisik. Padahal tidak ada seorangpun disini.

"Sudah dong,"

"Apaan?"

"Bayi. Suami gue itu bapak-able banget ya, Na,"

"Suami gue udah jadi bapak beneran lagi," Rana menjawabku dengan tawanya yang pecah

***

"Gimana tadi ngobrol sama Vian?" Tanyaku begitu kami sampai di rumah.

"Seru, sejujurnya saudara kamu lebih banyak yang normal daripada saudaraku," Jawabnya jujur. 

"Udah tau ya kamu saudara kamu normal?" Aku mengejeknya yang dibalas tawaan.

"Kamu itu hebat bisa mengikuti keluarga aku yang berlebihan itu, aku yang udah puluhan tahun aja gak sanggup,"

Ucapan polosnya membuatku tertawa terbahak - bahak. Aku tidak pernah terpikirkan jika Alex sebenarnya tidak menyukai cara keluarganya menjalani hidup. Terlalu ribet.

"Walaupun ribet mereka baik kok, Tante Rumi misalnya," Ucapku memberi contoh. Tante aneh yang awalnya kutakuti setengah mati itu telah menjadi teman persekongkolanku. Ia juga sering menyelamatkanku dari acara keluarga Alex yang terkadang sedikit cerewet terhadapku.

"Kamu itu pilihan terbaik, istri terbaik," Kata Alex dengan senyum.

"Karena kamu tau istri kamu ini baik, jangan sia - siakan istri kamu ini, okay?" Setelah memberikan kecupan singkat, aku meninggalkannya di ruang tamu yang terdiam, memikirkan kalimat yang aku ucpkan ini.

***

Aku mengerjakan part ini dan dua part selanjutnya di malam selanjutnya. Bagaimana menurut kalian dengan part ini? Aku sangat suka dengan Alex, tapi aku pikir aku harus menyelesaikan cerita ini. Hehe.

Tolong beri komentar yang membangun. Terima kasih. Love, Vanessa.

Mountain Commitment (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang