| empat puluh

3.7K 318 2
                                    

Dalam salah satu buku yang dibaca Alex, aku mengingat sebuah buku yang berjudul, "How to connect in business in 90 seconds or less" atau lebih tepatnya, bagaimana membuat koneksi bisnis dalam waktu 90 menit. Penulisnya, Nicholas Boothman bilang kamu meraih simpati seseorang dengan tatapan hangat, keramahan dan sebuah percakapan seolah - olah kalian telah mengenal begitu lama.

Dan aku sangat setuju dengan hal itu, tiga hal yang laki - laki itu lakukan untukku di Gunung waktu itu, cara komunikasi bisnisnya itu sangat ampuh sampai - sampai aku menerimanya begitu saja sebagai teman bicara.

Dalam tiga puluh detik pertama, aku merasa keheranan karena sikap ramahnya, tiga puluh detik berikutnya aku merasa nyaman dan tiga puluh detik terakhir aku menerimanya sebagai teman bicara.

Kadang dalam kehidupan, ada hal - hal yang kamu rencanakan dengan baik, tidak berjalan dengan baik. Aku yang egoistik, dalam hubunganku dengan mantanku sebelumnya terasa memudar.
Aku tidak lagi berkelana meninggalkan rumah sesukaku, tidak mementingkan karir dan pekerjaan, apalagi menjadi seseorang yang penting. Kini, menjadi bagian dari keluarga penting di kota ini bukan hal yang menggembirakan.

Tapi dibalik semua itu, aku punya kegembiraanku sendiri. Dibalik kebawelan Tante Rumi, terselip rasa bersyukurku atas Tante yang menyayangiku sebagai keponakannya itu. Dibalik Ibu Mertuaku yang elegant, terselip kekaguman yang luar biasa atas dirinya yang berhasil menjaga dan mendampingi suaminya dengan baik.

Dan itu juga yang aku inginkan saat ini.

Suara palu mengetuk - ngetuk di kamar tamu, suara yang harus kuterima dalam satu harian ini. Aku berjalan keluar kamar dan mendapati Alex yang sibuk memasang ranjang bayi.

"Sekarang apa lagi yang kamu kerjakan, Lex,"

"Berisik, aku gak suka diganggu saat mengerjakan tugasku," Aku mendengus, mengejeknya.

"Terserah kamu deh, dengar ya Alex anak aku gak butuh kamu sibuk begini,"

Ia meletakkan palunya dan menatapku sebal, "Kasihan sekali anak aku punya Ibu yang terlalu hemat seperti kamu, apa salahnya aku memberikan yang terbaik untuk anak aku?"

Aku mendecak, tak bisa melawan. Satu harian ini ia tidak pergi ke kantor, melainkan mengubah kamar tamu menjadi kamar bayi kami nanti. Sebenarnya, aku sama sekali tidak mempermasalahkan keributan yang dilakukan laki - laki ini, hanya saja apakah tidak berlebihan mendekor sebuah kamar ketika usia kandunganku belum sampai lima?

"Yasudah, terserah kamu," Kataku membalikkan badan. 

Ia memelukku dari belakang, dengan keringat dan tubuh berbau kayu. Aku meringis, "Kamu bau, Lex,"

Dia terkekeh, "Biarin,"

Ia melepaskannya dan kembali mengerjakan pekerjannya dengan semangat. Aku tersenyum, membiarkan Alex melakukan yang ia inginkan.

Bukankah ini seharusnya menjadi bagian yang membahagiakan dari hidupmu, Rania?

***

"Kamu gak ingin sesuatu?" Tanya Alex untuk yang kesekian kalinya. Aku menggeleng dengan cepat, "Aku gak pengen apa - apa, Lex,"

Ia mengangguk, "Kamu tuh aneh ya,"

"Aneh karena gak ingin apa - apa?"

"Tentu. Disaat semua orang akan memanfaatkan suami siaga kayak aku gini, kamu malah menganggurkan aku dirumah," Mendengar pernyataannya, aku tertawa lebar.

"Memangnya kamu mau aku ngapain?"

"Gak tau. Memangnya kamu mau apa?"

"Ditanya kok balik tanya," Ucapku kesal sendiri. Ia terkekeh.

"Papa gimana? Sepertinya kampanye sudah dimulai," Kataku mengingat Ayah Mertuaku yang dicalonkan sebagai Gubernur.

"Begitu deh, sebenarnya Papa juga gak niat sih, berhubung semua orang meminta Papa untuk mengabdi, ia harus menerimanya,"

Aku mengangguk, "Lex, apakah kita akan menjadi pasangan sebenarnya sekarang?" Tanyaku.

"Maksudnya?"

"Pasangan. Apa kamu akan mencintaiku?"

Ia terdiam, dan diamnya membuat aku merasa buruk. Aku tidak bisa menolak pikiran buruk berdatangan di otakku.

"Lex, jawab aku, kamu akan melakukannya atau tidak?"

"Aku akan berusaha, Rania. Aku tidak bisa memastikannya," Jawabnya jujur.

Aku mencoba memahaminya, sudah pasti Alex tidak bisa langsung mengatakan ia mencintaiku ketika ia tidak mencintaiku. Orang bodoh seperti apa kamu, Rania?

Ia tampak bersalah, dan aku tersenyum kecut. Masih sulit menerima kenyataan hanya aku yang dengan mudahnya jatuh cinta kepadanya.

"Kamu marah?" Tanyanya.

Aku menggeleng, "Tidak,"

"Jangan khawatir. Karena aku akan berusaha mencintai kamu," Ia mengenggam tanganku erat.

Aku menoleh kearahnya, mengangguk dan tersenyum.

***

Halo teman - teman. Setelah mendapatkan saran dari teman aku yang baik hati, dan sebenarnya ide dia udah saya tulis sebelumnya. Aku jadi punya inspirasi untuk melanjutkan part ini.

Bagaimana menurut kalian bagian ini?  Tolong beri komentar yang membangun. Vote jika kalian suka part ini.

Terima kasih. Love, Vanessa.

Mountain Commitment (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang