| tiga puluh enam

3.7K 306 13
                                    


"Pertanyaanku Tan, bagaimana caranya mengobati luka di hati nya," Aku mulai frustasi.

Tante Rumi yang berada di depanku ini menatapku dengan ekspresi keibuan-nya. Terkadang aku masih tidak percaya bisa dekat dengan Tante Rumi dengan segala keglamoran dan sifatnya yang pemaksa, dibandingkan dengan Ibu mertuaku sendiri.

"Sekarang kenapa kamu tiba - tiba ingin melakukan hal itu?" Tanya Tante Rumi masih tetap menatap kuku - kukunya yang terlalu indah dengan cat berwarna merah.

Benar - benar tidak membantu. Kupikir dengan menceritakan rahasia sebenarnya tentang pernikahanku, ia bisa memberikan solusi terbaik.

Aku mendesah, "Semuanya udah berbeda Tan, rasanya berbeda. Rasanya gak mungkin membesarkan seorang manusia lainnya tanpa cinta,"

"Kenapa harus? Kamu sudah memiliki Alex dan segalanya, Rania," Jawabnya santai. Seolah itu adalah jawaban yang semua orang pasti ketahui.

"Ini membingungkan, sangat. Aku gak mau Alex menjadi orang seperti ini, Tante tau, meskipun dia manis kepadaku, aku bisa melihat dia termenung,"

Aku menyeruput jus jeruk ku untuk meredakan haus karena terlalu banyak bicara.

"Kamu tinggal membuatnya jatuh cinta, gampang kan?"

"Maksudnya, Tan?"

"Rania, kamu gak akan bisa membuat Alex melupakan Mara karena Mara itu mengisi kehidupan Alex sejak remaja. Tapi kamu bisa bikin Alex jatuh cinta, bukannya kamu bilang Alex tidak percaya akan cinta? Itu artinya dia selesai dengan Mara,"

"Menurut Tante begitu?" Tanyaku tenang. Ia memberikan sorot mata meyakinkan.

"Buat dia jatuh cinta sama kamu," Ucap Tante menekankan setiap katanya.

Bisakah aku?

***

Tante Rumi memang tidak bisa memberi bantuan secara gratis, sekarang ia telah menggeretku ke acara ini, yang sialnya aku lupa berjalan hari ini.

Apalagi kalau bukan acara artisan keluarga yang terkenal, dan sekarang yang menjadi topik hangatnya adalah Mara yang kembali ke Indonesia dan Ayah Mertuaku.

Kepalaku benar - benar jenuh mendengar pertanyaan mereka tentang "Bagaimana kabar Mara?"

Lalu, "Dimana Mara akan bekerja?" Dan yang terakhir, "Bagaimana dengan kekasih Mara?"

Dan jangan lupakan nenek sihir, alias Ibu Mara yang terus menyindir seseorang yang tidak bisa menunggu anak perempuan kesayangannya dalam menempuh pendidikan.

Dunia Ibu - Ibu ini sangat menjengkelkan, ya?

Mara mendekatiku setelah meninggalkan beberapa Ibu - Ibu yang mulai sibuk berbicara satu sama lain. Ia terlihat sangat modis dengan heels dan tipikal dress yang sebelumnya ia pakai. 

Aku melirik flat shoes dan pakaian kerjaku yang tidak terlalu menarik, terlalu monoton dan kaku. Belum lagi tubuhku yang terasa letih akhir - akhir ini. 

"Hai mbak, kita ketemu disini ya?"

"Iya begitulah, aku gak tau kamu suka  dengan acara arisan begini," Kataku santai, namun memiliki arti sarkatis.

"Mama yang suruh,"

Aku menganggukan kepala singkat.

"Untuk yang direstaurant, aku dan Alex tidak berbicara apapun kok," Ucapnya memberi penjelasan.

"Do you love him?"

(Kamu cinta sama dia)
Tanyaku to the point. Ia tampak tersentak, dan ragu untuk menjawabnya.
"Don't worry, be honest,"

(Jangan khawatir, jujur saja)

"I am, and I always do. Tapi aku sudah memiliki banyak kesalahan mbak," Katanya dengan nada rendah. Kulihat kepercayaan diri dan kesan berkelas Mara hilang begitu saja ketika mengatakan kalimat ini.

(Aku mencintainya dan selalu)

"Aku selalu dengar dari Mama kalau Alex masih mencintaiku, memikirkanku. Jadi aku terlalu percaya diri untuk berharap ia akan berlari kepelukanku setelah aku kembali,"

Pembicaraan antara wanita ini terdengar terlalu privat untuk dibicarakan di sekitar umum, bukan? Aku hanya berharap tidak ada seorangpun yang mendengarkan pembicaraan kami.

"Tapi aku salah, jadi tolong menangkan Alex," Ia menatapku dalam, bersungguh - sungguh dengan ucapannya.

"Jika mbak tidak bisa melakukannya, aku akan merebut Alex kembali dengan segala cara, oke?" Ia mengakhirinya dengan senyuman tipis dan langkah kaki pelan yang berjalan menjauhiku.

***

"Rania, akhirnya kamu datang lagi, masih ingat juga ya sama arisan ini?" Aku mendelik, dalam hati mencemooh Ibu - Ibu berbedak tebal yang mencibir kedatanganku. Masih untung juga aku datang! Kataku dalam hati.

Aku tersenyum, mempertahankan pelajaran tata krama yang sudah kupelajari sejak lama.

"Duh, menantunya keluarga Wijaya masih sibuk bekerja ya, kenapa gak ngurus rumah aja?" Tanya salah satu Ibu lainnya.

"Perempuan kan harus berkarir juga bu,"

"Ibu dengar kamu bikin usaha pendidikan? Kenapa gak jadi psikolog aja? Atau mengurusi salah satu butik Ibu Mertua mu, memangnya sebegitunya ingin jadi pengusaha ya?"

Touch. Pertanyaan yang baru saja ia ajukan berhasil membuatku sangat sebal. As if they have right to control my job.

(Seperti mereka memiliki hak untuk mengkontrol pekerjaanku)

"Saya hanya ingin melakukan sesuatu untuk bangsa saya, seperti yang dilakukan Ayah Mertua saya, Bu. Mari," Kataku memberikan pamitan singkat. Meskipun aku berkata manis, aku yakin ia bisa menangkap dengan jelas raut wajah tak menyenangkan dariku.

Keramaian ini sama sekali bukan duniaku, untuk ukuran lulusan psikologi, aku benar - benar tidak bisa bergaul dengan siapa saja.

"Rania kenapa?" Tanya Ibu Mertuaku khawatir. Aku menggeleng, "Gapapa bu, kayaknya aku pusing aja," Jawabku dengan sopan.

Jangan tanyakan kenapa aku masih tidak begitu dekat dengannya, meskipun Ibu Mertuaku adalah orang baik, kami memiliki kepribadian dan sifat yang berbeda. Ibu Mertuaku sebagai wanita yang mendukung suaminya dan aku yang masih mengejar kehidupan nyataku.

"Aduh, Rumi juga sih ajak kamu segala, kamu kan lagi begini, arisannya kan udah selesai, kamu pulang aja," Rentetnya panjang.

Bibirku mengambang seketika, "Beneran bu?" Tanyaku semangat.

Ia memberikan senyum keibuan, "Kamu diantar sama supir Ibu aja ya," Dan aku menjawabnya dengan anggukan secepat kilat.

Kulirik Mara yang masih menanggapi Ibu - Ibu yang sibuk menjodohkan wanita itu dengan anaknya. I hope you find a lover, who will make you choose to stay beside him. 

(Aku harap kamu menemukan pasangan yang membuatmu memilih bertahan disampingnya)

I'm also egocentric, and I lost Ferrel to someone who could love him more than me.  And for the second time, I don't want my ego keep me from him.

(Aku juga egois, dan aku kehilangan Ferrel untuk seseorang yang bisa mencintainya lebih dari aku. Dan untuk kedua kalinya, aku tidak ingin egoku menjauhkanku darinya.

***

Haloo guys. This part is pretty long, isn't it? Cerita ini gak muluk - muluk banget kan ya sebenarnya. Anyway, please give me your vomment. I need them to improve my story.

Thank you.

Mountain Commitment (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang