| tiga belas

4.1K 388 18
                                    

Aku sepertinya harus menarik perkataanku kali itu.

Bertanggungjawab adalah sesuatu yang sangat sulit aku terima. My first bitter experience in this marriage is not about him, it is his family. Maybe this is the reason why you need to know their family before you decide to get married. Somehow, it is very frustrating. 

Okay, it's not like I am trying to be a bad wife or talking bad about his family. But this is real. Responsibility apa lagi yang mereka harapkan dan harus aku lakukan setelah aku mengikuti arisan bulanan ibu Alex, sosialita kelas atas yang suka sekali berkumpul tidak jelas. Membantu pengurusan pernikahan sepupunya yang tidak diperbolehkan menggunakan wedding organizer sampai membatalkan pekerjaanku ke dinas pendidikan karena tantenya. 

Responsibility seperti apa yang harus aku lakukan lagi setelah mengikuti arisan bulanan Ibu sosialita kelas atas keluarga Alex, mengurusi pernikahan sepupunya sampai saat ini harus membatalkan pekerjaanku ke dinas pendidikan karena Tante Alex yang menyebalkan.

This "Tante" is driving me crazy. Even crazier than me handling my mom. Aku bahkan tidak ingat namanya. Harus kuakui, meskipun keluarga inti Alex sangat rendah hati dan baik sekali, keluarga lainnya tidak terlalu. 

Wanita dengan pulasan lipstick merah dengan tas Louis Vitton yang kujamin ia dapatkan ketika berwira - wiri di Singapura itu menatapku dengan tajam. Dan jelas, aku membalasnya juga. Menunjukkan bahwa aku juga memiliki opiniku sendiri.

"Kamu itu mau dikenalin sama teman - teman Tante, Rania,"

Dia kembali berargumen.

Oh, please. Gue nikahnya sama Alex, paling mentok gue tanggungjawabnya ngurusin mama dan papa Alex. Emang lo gak punya menantu sendiri untuk dikenalin?

Tentunya aku tidak bisa mengatakan itu dengan keras. Tidak ada yang akan berani berkata langsung pada macan garang seperti dia. Awrr. 

"Tapi aku ada urusan ke dinas pendidikan, tan. Mau ngurus perizinan kantor aku,"

Jawab ku disertai alasan yang sangat jelas. Perizinan untuk pengajuan akreditasi lembaga ku sudah ku undur sejak pernikahan ini berjalan. Trying to fit in with Wijaya family is hard you know.

Dan ketika aku memiliki waktu yang tepat. Ia menggeleng keras, menggerakkan telunjuknya kearahku.

"No, no. Memang kamu gak mau dikenalin sama teman - teman tante, orang sosialita semua loh, Nia,"

Jika saja aku tidak diajarkan sopan santun oleh Mama sejak kecil, mungkin aku sudah memutar bola mataku seperti anak kecil. 

"Tenang, tante punya kenalan di dinas pendidikan, kamu ikut tante aja ya? Tante pastikan usaha kamu beres."

Ucapnya memujukku. Sementara aku menghela napas kasar, telah gagal dalam peperangan yang terlalu singkat ini.

"Yaudah, aku ganti baju sebentar ya,"

Kataku memandangi pakaian kerjaku yang tergolong rapi untuk masuk ke gedung pemerintahan.

Walaupun aku tipikal pencinta alam terbuka, sedikit banyaknya aku juga menyukai fashion. Memang tidak nyambung sih, but woman need to know what they need to, don't we?

Lagipula aku tidak ingin mendengar ceramah singkat Tante fashionista ini.

Ia mengangguk dan menggunakan tangannya menyuruhku cepat.

Aku berjalan dengan cepat menuju kamarku.

Masih tidak habis pikir dengan Tante yang satu ini? Bahkan Ibu mertuaku tidak serepot ini.

Dan bodohnya, meskipun aku terus mendumel dalam hati. Aku tetap mengganti pakaianku menjadi pakaian yang pantas untuk acara makan siang orang - orang yang menghabiskan uang suami seperti mereka dan membiarkan Tante Alex yang baru kuingat bernama Rumi itu terus mengangguku dengan pembicaraannya yang tidak penting.

Marrying a rich person doesn't mean I can use up all his money. Women need career too.

Bukannya mau ngomongin yang jelek - jelek, kalau tante yang satu ini dicerain? Mau seperti apa dia?

Pikirku dalam hati. Memandangi dandanannya yang terkesan elegan dan mewah, sedikit berlebihan meskipun cantik.

Who can guess that months ago I just a woman trying to escape from marriage, and here I am.

****

Acara makan siang yang disebut Tante Rumi diadakan di sebuah restaurant mewah di kota ini. Sebuah restaurant yang merangkap galeri seni terkenal Indonesia, butuh reservasi jika ingin makan siang disini.

Dan di tempat ini aku melihat Ibu - Ibu berusia empat puluh dan lima puluhan berkumpul satu per satu. Aku jamin mereka semua adalah jajaran istri pengusaha atau politikus. And I'm totally out of the league.

Meskipun keluargaku berkecukupan dan tidak terlalu jauh seperti mereka, aku adalah tipikal yang sederhana. Lebih menyukai alam terbuka dibanding mall yang menyesakkan. Ya, aku tidak menolak juga sih untuk belanja barang - barang mewah sekelas Coach, sampai Alexander Wang yang tidak dijual di Batam.

Shopping is one way to relieve stress. But unhealthy spending is not.

Tapi, aku tidak pernah membayangkan diriku bergabung dengan kehidupan yang melelahkan seperti yang dilakukan wanita-wanita yang ada ini.

For me, a woman is the strongest person in the world. 

Rasa banggaku membuatku tidak bisa menerimanya. Bukannya aku menyalahkan mereka, semua orang membuat keputusan untuk hidup mereka sendiri. I have my own way to make myself happy. 

Alex, sebenarnya mengapa aku jadi berpikiran menikahi kamu adalah kesalahan?

***

"Kenalin, Jeng Arni, ini istrinya keponakan saya. Namanya Rania,"

Kalimat itu hanya satu dari banyaknya kalimat yang diucapkan Tante Rumi untuk mengenalkanku. Kuakui, ia sudah bersusah payah membuatku dikenal oleh semua kalangan sosialita ini.

Dan aku lagi - lagi berusaha menarik garis tipis, tersenyum kearah wanita yang bernama Arni ini.

"Oh, ini istrinya Alex, ya?"

Sudah berkali - kali jawaban itu yang ku dengar dari mulut setiap orang yang dikenalkan Tante Rumi kepadaku. Dan aku masih tidak habis pikir, selama aku menjadi penduduk di kota Batam ini. Aku tidak pernah mendengar nama Alex sama sekali, dan kini ia tiba - tiba saja seolah seluruh dunia mengenal lelaki yang berstatus suamiku itu.

"Iya, Tante. Saya Rania,"

Aku mengulurkan tangan. Ia menatapku dari atas ke bawah, terasa menyebalkan seolah ia disini untuk menilaiku.

"Kamu kerja?"

Tanya wanita ini singkat. Aku tersenyum, "Iya, Tan. Aku punya usaha pendidikan."

Jawabku berusaha tidak terdengar sombong.

Punya usaha sendiri termasuk hal yang harus dibanggakan, bukan? Ya, dibanding dengan Ibu - Ibu sosialita yang suka menghabiskan uang seperti mereka.

"Kasihan Alex ya, Istrinya pasti sibuk terus,"

Dan jangan salahkan aku memutar mataku kesal, membiarkan wanita yang aku lupa siapa namanya ini menilaiku seenaknya.

"Udah perjanjian kami berdua kok, Tan,"

Balasku membela diri. Ia tersenyum sinis, "Seandainya Mara tidak kuliah ke luar negeri ya,"

Aku membulatkan mata penuh, bingung karena ia menyebutkan nama Mara yang tidak pernah kudengar.

Tante Rumi memegang tanganku, mengenggamnya dan menyuruhku tenang. Aku masih terlihat kebingungan, sampai Tante Rumi berbisik kepadaku, "Mara itu mantan calon istri Alex, Nia,"

Dan fakta itu membuatku terbungkam seketika.

***

Mountain Commitment (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang