| dua puluh tujuh

3.5K 326 28
                                    

"Kamu dimana?"

"Kita bicarakan baik - baik,  oke?"

"What do you want? Kita bisa bicarakan ini baik - baik, Rania."

Pesan dari Alex yang datang bertubi - tubi itu sama sekali tidak kugubris. Aku tidak memiliki niatan untuk bicara dengannya hari ini.

Bilang saja aku tidak bisa memenuhi perkataanku, tapi ada bagian dari diriku yang merasa tidak wajar untuk yang sudah menikah untuk menghilangkan nyawa seorang "bayi" didalam tubuhku. Awalnya aku memiliki niatan itu, tapi hatiku berkata untuk tidak melakukannya. Dan mencari waktu berpikir untuk sementara sampai Alex juga memikirkan keputusan waktu itu.

"Kalau suami lo nyari lo gimana?"

Tanya Dera.

"Duh, gue cuma butuh me time kok.  Gue gak ada masalah besar," Jawabku berusaha santai dan kembali mengarahkan mataku pada majalah fashion yang Dera letakan di kamarku. 

"Lo masih aja gak mau jujur sama gue ya," Ia menatapku frustasi sementara aku mengendikkan bahu berpura - pura tidak mengerti pembicaraannya. 

"Ini suami lo gak tau lo disini,  beneran gak apa - apa?"

Aku mengangguk dengan santainya.  "Paling dia ngerti sendiri kok, perempuan kan gampang banget moody."

"Moody apaan sampe lari ke Surabaya gini, yaudah deh terserah lo, gue gak ikut campur ya."

Dengan tatapan tenang dan wajah ceriaku, aku berhasil mengelabuinya dan membuatnya menyerah.

"Ini gue nginep disini gapapa beneran?"

Tanyaku balik.

"Santai, asal jangan sampai seminggu aja ya. Rumah gue bukan tempat penampungan istri yang lagi kabur dari suaminya," Ceplosnya.

Lemparan sebuah bantal mendarat di kepalanya dan berhasil membuatnya mengaduh kesakitan.

"Makanya jangan ngomong sembarangan lo, dibilangin juga enggak," Kataku menjulurkan lidah senang, membiarkan wajahnya terlihat kesal setengah mati.

"Terserah deh ah, gue keluar dulu," Balasnya dengan mood yang sudah hancur dan menutup pintu kamar yang kutempati. Aku tertawa senang melihat sikapnya yang tidak berubah, meskipun sudah menikah dan memiliki anak.

Ponselku berdering, dan aku melihat sebuah nomor yang tidak pernah kuterima sebelumnya.

"Halo?"

"Rania?"

Aku mengerjap mendengar suara yang kukenal dengan baik.

"Iya, ada apa?" Jawabku setengah hati. Terdengar tawa singkat yang renyah di telingaku.

"Gue seneng, setidaknya belakangan ini lo gak mengangkat telpon gue dengan emosi lagi,"

"Lo mau apa?"

"Bisa ketemu? Mumpung lo di Surabaya,"

"Buat apa?" Jawabku datar.

"Cuma ngobrol aja, pas di Batam lo buru - buru sampai gue gak bisa ngajak lo ngobrol,"

"Tapi buat apa? Nothing to talk ya, Rel,"

Balasku tidak sabar.

"Kenapa enggak sih? Ngobrol bentar doang kok, gimana?"

Pujuknya sekali lagi. Dan dengan penuh penyesalan, aku mengiyakan perkataannya.

***

"Gimana kabar kamu?" Tanyanya kikuk. Aku memutarkan mata jengah dengan sikapnya yang jauh berbeda ketika berada di keramaian dan berdua seperti ini.

"Don't 'kamu' me ya Rel, gue gak suka,"

"Okay,"

"Kita baru ketemu beberapa jam yang lalu dan kamu sudah tau kabarku, bukan?"

"Oh, iya,"

"Gimana pernikahan lo?"

Aku mengendikkan bahu, memberikan senyuman tipis kearahnya yang menatapku penasaran.

"Baik - baik saja, gue menyukainya,"

Dan aku kembali berbohong di hadapan seseorang hari ini.

"Rania, apa lo bahagia sama dia?"

Tanyanya perlahan, dengan wajah yang serius meskipun ia tidak bisa menatap tepat ke mataku.

"Mending lo tanyain ke diri lo sendiri, udah bahagia belum lo dengan perempuan lain yang bikin lo percaya diri itu," Ucapku dengan nada sarkatis. Ia menatapku bersalah, seolah telah menebak aku akan mengatakan hal ini padanya.

"Harus berapa kali gue bilang maaf sama lo, Ran?"

"Dan mengkhianati gue dengan melakukan 'itu' sama dia? Bicara didepan semua orang di kantor itu maksudnya apa?"

Tatapan keji dan jijik yang kuberikan padanya masih tidak sebanding dengan kebencian yang aku miliki untuknya. Laki - laki yang melakukan hubungan intim dengan perempuan lain dan dengan lantangnya berkata didepan semua orang di tempat kerja kami bahwa perempuan itu yang bisa membuatnya bahagia dan merasa dicintai. Bahwa Ferrel sialan ini merasa terintimidasi dengan sikapku yang dewasa, merasa selalu memimpin, gaya hidup tinggi, dan prinsip tentang laki - laki itu sama dengan perempuan terdengar nonsense. Dan perempuan yang tinggal di luar negeri seperti aku, yang awalnya ia yakin sudah tidak virgin ini malah sama sekali tidak mau memegang tangannya.

Rasa benciku naik ke ubun - ubun mengingat hal yang menyakitkan dan memalukan seumur hidupku itu. Alasan yang sama yang membuatku takut jatuh cinta.

"Rania, apa suami lo tahan sama sikap lo kayak gini?"

"Maksud lo apa, brengsek," Aku menahan diri untuk tidak berteriak di hadapan orang ramai, untung saja kafe yang kami datangi penuh dengan musik dan orang - orang yang berbicara satu dan lainnya sehingga tidak ada yang menyadari pembicaraan kami.

"Maafin gue, kali ini aja. Gue cuma gak mau putus secara tidak baik - baik dengan perempuan yang paling gue cintai dalam hidup gue,"

Aku mendecih mendengar kata - kata yang membuatku mual keluar dari mulut bajingannya.

"Bertahun - tahun ini kita putus, fine - fine aja kan? Jangan bilang cinta kalau kamu sebenarnya penuh dusta, Rel,"

"Rania, denger gue. Gue cuma kikuk sama lo dan cuma respect sama lo, dari semua cewek yang ada di hidup gue. Dan gue gak mau dihantui rasa bersalah seumur hidup karena ini,"

"Terus lo kira baik - baik aja buat lo untuk ngelakuin 'itu' sama perempuan lain? Pakai otak lo,"

Kataku mendesis. Kali ini aku berbicara dengan santai, seolah kami hanya teman lama yang sedang berbincang.

"Itu semua karena lo gila kehormatan sebagai perempuan. Gue juga gak sanggup menghadapi perempuan yang ingin menjadi wanita paling hebat, memimpin dalam semua hal, mengalahkan gue di pekerjaan, memandang gue rendah sebagai laki - laki, gue juga manusia Rania, dan gue butuh pelampiasan,"

Tanganku terasa gatal ingin melayang ke wajahnya namun tanganku tertahan, dan detik berikutnya aku mendengar suara tamparan yang begitu kuat.

"Istri saya memang perempuan independent, dan itu bagus. Orang seperti anda yang menyakiti orang sehebat istri saya tidak pantas mendapatkan maaf,"

Dan meninggalkan Ferrel yang terkejut setengah mati, Alex menarikku keluar dari kafe ini. Mengabaikan tatapan orang lain yang memandang Ferrel dengan iba.

***

Haloo semuanya.  Mungkin ada yang merasa gak nyambung dengan kedatangan Ferrel. Tapi sebenarnya Ferrel ada loh di part - part awal. Dan aku ingin meluruskan aja kenapa Rania takut jatuh cinta.

Mungkin alasannya biasa aja, terkhianati oleh pacar yang dicintai. Tapi aku pengen kalian mandang dari sudut pandang Rania yang independen, mandiri dan penuh percaya diri akhirnya bisa jatuh cinta dan pacaran dengan Ferrel yang sangat ia percayai dan berhasil membuatnya berdebar.

Tapi semuanya terkhianati dengan alasan yang tidak masuk akal untuk si Rania.

Anyway, vomment nya ditunggu teman - teman. Untuk membangun cerita ini menjadi lebih baik. Terima kasih

Mountain Commitment (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang