| enam

4.5K 346 7
                                    

"Kamu benar - benar pencinta dendeng ya,"

Aku tak bisa menahan tawaku melihat Alex, yang terlihat sangat excited dengan dua dendeng cabe yang terhidang di piringnya.

Ngakunya sih dua minggu yang lalu, setelah kami berpisah di bandara. Dia langsung terbang ke Jakarta untuk urusan bisnis yang tidak kumengerti.

Memangnya aku perlu mengerti?

Never mind.

"Kamu gak tahu ya, disini satu - satunya yang menyediakan dendeng paling enak di Batam,"

"Iyadeh percaya aja,"

Aku memilih menghabiskan ayam pop yang tersedia di piringku.

"Gila, enak banget, nih tempat emang gak bisa ngecewain saya ya,"

Ia meletakkan sendoknya dan menelungkupkannya ke piring. Aku hanya menggeleng, merasa lucu dengan perkataannya.

"Setuju sih, disini enak."

"Makasih udah nemenin saya ya, Nia,"

Baru kali ini aku mendengar namaku dipanggil dengan singkat. Aneh mendengar kata Nia berasal dari bibirnya.

"Santai, itung - itung aku kenalan sama makanan enak,"

Lelaki itu segera bangkit menuju kasir, kutarik tasku dan menyusulnya.

"Tunggu, nih untuk makanannya,"

Ku keluarkan selembar uang lima puluh ribu ke tangannya. Dia mendorong tanganku halus.

"Gak perlu, itung - itung saya traktir,"

"Let's do dutch,"

"Next time. Kali ini biarkan saya yang bayar,"

Ia lalu berjalan mendahuluiku meninggalkan Rumah Makan Padang di salah satu sudut kota Batam itu.

Apakah aku sudah bilang kalau lelaki itu mengendarai Range Rover?

Hah. Tiba - tiba aku teringat lirik lagu Closer dari The Chainsmoker. Duh, Nia. Apa sih yang lo pikirkan?

"Saya antar kamu lagi ke kantor."

You know what? I'm still amazed with him remember my work. Dan ketika aku bertanya bagaimana ia menemukan alamat kantorku, ia mengendikkan bahu santai, "Google dong, Nia, jaman sekarang ini,"

Dan dia bukan tipikal kaku, mudah canggung. Jika diketahui aslinya, Alex adalah orang yang santai, suka petualangan, suka kebebasan. Seolah aku menemukan duplikat dari diriku.

Aku bertanya padanya di tengah perjalanan kami menuruni pendakian.

"Kenapa kamu ngomongnya pakai saya - kamu?"

"Entahlah. Mungkin kamu merasa tidak nyaman, but there's just part of me enjoy speaking formally with people, diluar keluargaku,"

Dan aku dapat mengerti dirinya. I enjoy his company.

And in case you all forget about this. This is our second meeting.

"Seatbelt-nya Nia,"

Aku terkekeh dan menuruti perkataannya. He's too detail.

"Can't wait to see you next time," ucapnya ketika aku turun dari mobilnya. Aku memaksanya menurunkanku dikantor dengan alasan mobilku yang tertinggal disana.

"Sure, why not."

***

Satu hal personal yang aku mudah sukai ketika berbicara dengan orang lain adalah ketika kami memiliki selera musik yang sama. Somehow, it make me feel connected with that particular person. Bukan karena aku membedakan orang atau menjelekkan selera musik dan genre lainnya. Setiap orang memiliki opininya sendiri.

Mountain Commitment (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang