| dua puluh delapan

3.5K 309 3
                                    

"Alex, gimana kamu bisa disini?"

Aku mengucapkan kalimat itu setelah ia melepaskan genggamannya di tanganku.

"It's not important, yang penting bagaimana kamu bisa kesini? Kamu gak tahu ya pergi sendirian itu bahaya untuk kamu."

Jawabannya terdengar sangat panjang, membuatku memutar mata tak habis pikir.

"Kenapa kamu perduli?"

Tanyaku sarkatis.

"Kita ngomong di mobil aja,"

Katanya sembari menarik lenganku ke dalam mobil yang ia dapatkan entah darimana. Aku memegang lenganku yang terasa sakit karena tarikannya yang kuat.

"Seriously Lex, bisa pelan - pelan gak sih?" Kataku kesal.  Ia menatapku keras lalu melonggarkan pegangannya setelah mengerti maksudku. 

"Kok kamu masih mau sih ketemu sama orang brengsek kayak dia, kamu gak waras ya?"

Aku tercengang dengan perkataannya yang benar - benar terasa di luar logika. Seketika rasa marahku pada Ferrel berubah pada lelaki yang ada di depanku ini.

"Lo yang gak waras, urusan gue sama dia belum selesai, ngerti gak?"

Kataku membalasnya.

"Don't use that 'lo' word, aku gak suka,"

Bukankah laki - laki di hadapanku telah kehilangan akal? 

"Terserah ya, Lex. Aku harus ke dalam dulu menyelesaikan masalahku sama dia."

"Kok kamu bisa sampai ke Surabaya sendirian? Kamu gak tau ya itu sangat berbahaya untuk kamu, kamu naik apa kesini, Rania?"

Aku menatap Alex dengan takjub, takjub akan dirinya yang tidak memiliki kepekaan sedikitpun.

"Itu gak penting ya, Lex,"

"Jawab dulu, Rania."

Suaranya terdengar menggertak dan penuh amarah. Sampai - sampai aku harus menyentuh jantungku yang terasa berdenyut.

"Aku naik kereta, sendirian, puas? Sekarang Mr. Alex yang terhomat, bisa ijinkan aku keluar?" Ucapku dengan sarkatis.

Aku menarik gagang pintu mobil ini, yang dengan cepat ditahan olehnya. 

"Jangan pergi, Rania. Kita butuh bicara, benar - benar butuh,"

Ucapnya menatapku dalam. Aku menahan napas melihat tatapannya yang terasa tulus, dan kemudian memilih mengangguk.

***

"I'm sorry,"

Aku menatapnya dengan penuh pertanyaan. Atas dasar apa dia meminta maaf padaku kali ini?

"I wasn't on my right mind,  saat itu aku kehilangan akal untuk berani bilang hal seperti itu,"

Setelah mengerti apa yang ia maksudkan, aku memilih menatap lurus kedepan seolah tidak mengerti apapun. 

"Rania, aku suami yang buruk, ya?"

Tanyanya. Mengenggam tanganku erat sementara aku masih mengalihkan wajah darinya. Laki - laki yang menikah denganku ini tidak bisa ku mengerti dan kutebak pikirannya, dan aku tidak yakin ada cara bagiku untuk mengerti.

"Aku juga calon ibu yang bodoh kok," Kataku pada akhirnya. Kenyataannya aku adalah orang pertama yang mengajukannya, dan itu juga yang membuatku merasa bersalah kemudian pergi.

"Aku sebagai kepala keluarga benar - benar tidak bisa menjadi dewasa, bodohnya aku mengatakan hal itu sama kamu.  Perempuan yang aku nikahi dan aku hargai, aku minta maaf ya,"

Tatapan Alex terlihat penuh rasa bersalah dan itu membuatku cukup merasa bersalah juga.  Seolah semua kekesalanku runtuh seketika.  Pada dasarnya, aku dan Alex hanya dua orang yang memiliki kebutuhan untuk menikah dan terjebak pada hubungan yang kami berdua belum mengerti.

Usia tidak bisa menentukan bagaimana seseorang dewasa menghadapi masalah yang ada di sekitarnya. Contohnya adalah kami berdua. Terjebak dalam putaran yang sama tanpa tau dimana sebenarnya kami berada.

Apakah hubungan ini telah beranjak satu langkah naik atau kami berjalan di tempat yang sama?

Hatiku memiliki harapan bahwa Alex berada disini untuk mengatakan bahwa ia menginginkanku, bukan karena sesuatu yang telah menjadi kewajibannya. Kata kewajiban terdengar begitu memuakkan untukku.

Tapi sepertinya laki - laki ini sama sekali tidak mengerti. Ia mengarahkan pandanganku ke wajahnya, merapikan rambutku yang sedikit berantakan dan menyentuh pipiku perlahan.

Aku mengangguk, dan merasakan bibirnya menciumku lembut.

Dan jika boleh jujur, moment seperti ini adalah hal yang sangat kubenci. Moment yang berhasil membuatku merasa jatuh cinta dan merasa dicintai olehnya.

***

Ferrel, dulu gue egois banget ya jadi pacar lo. Tapi sekarang gue udah nemuin apa yang gue butuhin saat ini, begitu juga lo dengan perempuan itu. Mari saling memaafkan.

Rania.

Aku mengirimkan pesan itu dengan tekad bulat. Satu jam yang lalu aku berada di kafe itu dengan emosi yang meledak - ledak ingin membalasnya dengan hujaman kata kasar untuk membalas rasa sakitku.

Tapi aku juga sadar, mungkin ini saat yang tepat untuk mengakhiri drama yang diam - diam belum selesai antara aku dan Ferrel.  Laki - laki yang membuat aku jatuh cinta dan dicintai.

Dicintai meski dalam waktu yang singkat adalah kenangan yang harus aku jaga dengan manis. Begitu juga dengan kenangan buruk dan ketakutanku atas cinta.

Ceritaku dengan Ferrel telah berakhir dengan jelas, tapi ketakutan baruku telah dimulai.

Ketakutan untuk kehilangan orang yang ada disebelahku ini saat dia menyadari aku mungkin telah jatuh hati mati - matian dengannya.

***

Haloo semuanya.  Aku menyelesaikan part ini selama satu jam kebelakang setelah mendengar satu buah lagu galau hehe.  Aku merekomendasikan membaca cerita ini sambil denger lagu coveran Jung Seung Hwan di Immortal Song 2 yang judulnya After Love. Gatau kenapa lagunya bikin mood nulis jadi naik gitu.

Anyway aku tau cerita ini banyak kekurangannya, jadi tolong komentar agar ceritanya menjadi lebih baik lagi. Ceritanya akan aku revisi secara keseluruhan setelah selesai.

Terima kasih.

Mountain Commitment (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang