| tiga

4.5K 378 3
                                    



"Kita istirahat disini, bagaimana?" katanya menghentikan perjalanan aku dan dia. Aku mengangguk dan mengeluarkan tikar kecil, kurasa kami tidak akan bermalam disini dan aku tidak memerlukan sebuah tenda, bukan?

Aku mengeluarkan air putihku dan duduk bersantai sementara ia sibuk dengan termos panasnya.

"Diminum," tawarnya menyodorkan gelas yang berisi cokelat hangat. Aku tersenyum, "Makasih,"

Aku duduk santai dan melihatnya menyiapkan api unggun untuk menghangatkan diri. Aku tertawa kecil menyadari diriku tidak mengetahui namanya. Gila, aku tidak menyadari telah mendaki beberapa jam belakang, berbicara mengenai sesuatu yang privat untuk dua orang yang tidak mengenal. I mean, some people might think that I am freak, considering there is nothing to be proud of as someone who do not want to fall in love. Every normal woman love and want to be loved, and marry their prince charming for a happy ending.

Tapi disini aku dengan santainya menghabiskan waktu berbicara dengan laki – laki yang kebetulan mendaki denganku tentang pernikahan dan cinta.

"Kamu kenapa ketawa? Ada yang lucu?" ucapnya ketika menyadari aku tertawa dengan hal yang ada di kepalaku sendiri.

"Nothing. Hanya saja, aku gak tahu siapa nama kamu,"

Lelaki itu tersenyum, "Nama saya, Alex,"

"Aku Rania,"

"Saya tahu kamu nganggap saya stranger yang aneh,"
Ucap Alex tersenyum, aku menggeleng santai.

"Aku malah kira kamu yang menganggap saya stranger yang aneh,"

"Do you actually always talk in awkward tone like that?"

Ucapku bertanya padanya. Bukannya bersikap tidak sopan, hanya sesuatu yang tidak bisa kubaca adalah ketika lelaki berbicara dengan tenang tapi canggung sepertinya. Meskipun pembicaraan kamu sudah melebar kemana – mana. Man actually are wild animal, they survived everywhere. And they are good in covering themselves.

Mungkin akan lebih menyenangkan jika lelaki ini bersikap seperti pendaki remaja yang biasa aku jumpai dalam setiap perjalananku.

"I'm not," jawabnya mengklarifikasi dengan singkat.

Cara bicaranya terlalu lempeng, membuatnya menjadi seorang gentlemen dibandingkan seorang pemuda dengan jiwa bebas. Aku berpikir apa mungkin karena usianya yang dewasa ya. Membandingkan dengan aku yang selalu bersikap seperti remaja ketika bepergian seperti ini. Dasar, membuatku merasa bersalah saja.

"Well, mungkin memang kamu selalu tenang dalam berbicara,"

"Memang," aku mendengus mendengarnya yang bisa menjawab. Alex is quite different guy.

"Makan yuk,"

Aku mengangguk, mengambil dua bungkus pop mie yang kubeli tadi, "Kamu mau?"

Ia mengangguk, "Thanks, tapi airnya?"

Aku menepuk jidatku, astaga, aku melupakan bagian penting dari perjalanan mendaki.

"Airnya bawa, tapi pancinya lupa,"

Ia tertawa dan mengeluarkan termos air panasnya yang lain, "Nih, pake ini aja," Katanya menuangkan air panas ke bungkusan mie ku terlebih dahulu.

I love his gesture.

"Makasih,"

Aku menutup bungkusan itu dan menunggu tiga menit seperti yang di intruksikan.

Langit malam ini terlihat indah, bintang - bintang bertaburan di langit. Beda sekali dengan Batam, dimana sulit sekali bagiku menemukan malam dengan bintang.

"What a great hike,"

Apa itu berarti aku adalah seseorang yang seru?

"Same here,"

Sunyi terasa diantara kami. Ia mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya padaku, "Bisa minta nomor telepon kamu?"

Tanpa berpikir panjang, aku menerima dan menuliskan nomorku disana.

"Can I call you when we arrive in Batam?"

Aku mengangguk.

"Istirahat aja, satu jam-an lagi kita jalan lagi,"

Aku mengangguk, mengeluarkan sleeping bag dan berbaring di atas tikar kecil yang kubawa. Nyaman sekali. Entah kenapa aku percaya Alex tidak akan berbuat sesuatu yang buruk kepadaku. Salah satu kekuatanku sejak dulu, aku merasa bisa menilai sifat seseorang dari first impression yang mereka berikan. Sejak dulu, aku selalu benar dengan intuisiku. Kali ini, aku harap juga demikian. 

Mountain Commitment (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang