Wati, receptionist yang bekerja di kantorku tersenyum lebar ketika aku dan Alex masuk. Oh, dan aku paham senyum lebar yang dilakukan anak baru tamat sekolah ini kepada Alex yang ikut denganku siang ini.
"Bawa suami ya, mbak,"
Aku mengangguk saja, terlihat sekali Wati senang melihat Alex. Apalagi dengan gaya pakaian yang sangat kasual siang ini, aku bahkan sempat berpikir ia ingin pergi ke pantai dibanding menemani ku ke kantor.
"Hari ini ada kelas?" Tanyaku pada Wati. Ia mengangguk cepat.
"Ada mbak, jam tiga ada kelas bahasa Inggris satu tahun dan malamnya bahasa Mandarin,"
Aku menggangguk mengerti. Perusahaan yang aku rintis satu tahun kebelakang ini masih berkembang dan aku sudah sangat bersyukur karena kelas yang kami buka cukup diminati.
Aku tahu latar belakangku sama sekali tidak berhubungan dengan kursus atau bahasa. Tapi ketika berpikir tentang pendidikan di Indonesia yang masih kurang dan tingkat skill yang dimiliki angkatan pekerja, aku berpikir kursus menjadi pilihan bagus untuk pekerja di Batam. Apalagi Batam terkenal dengan kota industri.
"Masuk ke kantor yuk," Ajakku pada Alex yang termenung duduk di bangku tamu ketika aku berbicara dengan Wati. Ia mengangguk mengikuti, dan aku tertawa kecil melihat wajah kecewa Wati. Sepertinya gadis itu masih ingin melihat wajah Alex.
Dasar anak muda!
***
"Office kamu kok kecil banget sih,"
Gerutunya ketika harus duduk di bangku berhadapan denganku. Ruangan kerjaku memang kecil, hanya cukup untuk sebuah meja dan dua kursi serta satu lemari sedang untuk menyimpan data - data penting perusahaan. Oh ya, juga sofa kecil di sisi kanan yang sering kugunakan untuk bersantai.
Aku menghela napas, "Bawel ya kamu, siapa suruh ikut aku kesini," Ucapku membalasnya.
Ia mendelik, dan aku membalasnya dengan tatapan tajam. Really, Lex? Aku terkadang bingung dengan sikapnya yang ini, kekanakan dan terlihat manja. Membuatku ingin melempar dokumen yang ada di mejaku ini ke wajahnya.
"Kamu kan bisa perbesar gitu. Mana nyaman kerja disini,"
Dan sekarang dia mulai membicarakan tempat kerjaku. Aku benar - benar membenci sikapnya yang satu ini.
Seolah - olah pekerjaanku adalah sesuatu yang menyedihkan dan lelaki ini harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkanku dan pekerjaan yang aku miliki.
Aku menatapnya dengan tajam, kali ini tidak memberikan kelembutan apapun didalamnya. Muak rasanya melihat sikap Alex seperti dia yang paling hebat, sama seperti besarnya.
"Aku nyaman disini, jadi gak usah komentar ya, Lex,"
I seriously wanna hit this guy with books in front of me. Aku tidak pernah menebak dalam mimpi terburukku bahwa lelaki yang aku temui saat pelarianku saat itu adalah orang yang sombong seperti dia.
"Kamu mau aku beli gedung baru?"
Aku berdecak sebal, baru menyadari Alex terlalu sering memutuskan sesukanya.
"Aku mau bangun usaha ini dengan kerja kerasku. Titik,"
Kataku keras.
Tatapan Alex masih mengeras, tapi aku mengacuhkannya dengan mudah. Tidak ingin membuang waktu.
Kubiarkan Alex yang duduk di hadapanku dengan ekspresinya yang terlihat jelas. Dengan sigap, aku mengerjakan dokumen - dokumen pendukung yang harus kubawa ke dinas pendidikan. Memilih bidang kursus memang bukan pekerjaan mudah. Dan aku telah terlalu jauh berada di luar jalur.
Tapi, bukankah pekerjaan yang baik ketika kamu menikmati mengerjakannya?Aku tidak mau bekerja dengan orang lain lagi. Di sebuah perusahaan besar dengan berbagai jenis orang didalamnya bukanlah tipeku.
"Kamu mau berapa lama disini?"
Tanya Alex setelah kira - kira lima belas menit kami berdiaman. Tampaknya lelaki ini bosan duduk tanpa melakukan apapun.
"Kamu gak ada kerjaan ya?" Ucapku menurunkan kacamata yang kupakai saat kerja. Berkutat di hadapan komputer sepanjang hari tanpa kacamata akan sangat mengangguku.
"Gak ada. Bosan juga dirumah,"
Katanya. Aku menghela napas, rasa kesal yang tadi membara hilang seketika. Kasihan juga melihat Alex tidak nyaman di ruanganku ini.
"Gak hangout sama teman kamu?"
Tanyaku padanya. Aku ingat teman - teman baiknya yang datang saat pernikahan kami. Ia lagi - lagi menggeleng."Aku masih banyak kerjaan loh, kamu maunya apa sih?" Tanyaku bingung. Sebel juga melihat wajah uring - uringan Alex di hadapanku, menghilangkan mood saja.
"Mendaki yuk, bosan yang gini - gini aja,"
Aku mengernyitkan dahi, sepertinya aku salah mendengar. Mendaki dimana? Memangnya ada tempat pendakian di kota ini?
"Bercanda ya, emangnya disini ada gunung?"
Kataku membalas. Ia tertawa kecil dan menggeleng, "Menurut kamu?"
"Ya gak ada lah, aku udah hidup di Batam dari kecil, gak pernah ada tuh gunung disini. Bukit sih iya,"
Jawabku.
Kali ini benar - benar melupakan komputerku yang masih menyala. Aku memandangnya penuh pertanyaan.
"Maksud kamu apa sih?"
"Liburan yuk, kali ini kita ke Gunung Semeru gimana?"
"Emang bisa?"
Dia mengeluarkan senyum menyeringainya, senyum yang ia tunjukkan ketika memiliki ide baru.
"Kamu tau aku bisa melakukan apa yang aku mau, kan?"
Cih, tingkah sombongnya mulai lagi. Tapi dipikir - pikir, boleh juga. Kapan lagi diajak libur di tengah - tengah kepadatan kerja?
"Jadi kapan?"
"Besok?" Jawabnya santai yang membuatku melebarkan mata.
***
Hai, bagaimana menurut kalian cerita ini? Jujur aja, bagiku cerita ini kurang feelnya. Jadi aku butuh pendapat jujur kalian tentang cerita ini.
Makasih. Jangan lupa vomment ya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mountain Commitment (completed)
Romance[Under seventeen, please don't read this} Alex doesn't trust the word love, and Rania fears love. Both of them met in Marapi Mountain in Sumatra. The coincidence and the friendship between two mountain lovers, they decided to get married. One is to...