Satu minggu setelahnya, ia menghubungiku kembali dan membuatku menyuruhnya datang ke kantorku.
Kemarin Mama menerorku dengan sejumlah foto laki – laki yang ia ingin jodohkan denganku dan membuatku merasa hampir gila. Ia terlalu stress memikirkan anaknya yang tidak ingin menikah ini dan tidak memiliki pacar yang dikenalkan padanya sampai hari ini. Mungkin Mama masih berpikir aku tidak pernah berpacaran mengingat sejak SMA aku selalu menjawab tidak setiap kali Mama tanya apakah aku punya pacar.
Pointnya adalah, aku terlalu lelah dengan Mama dan semua lelaki yang ia kenalkan. Mama tidak pernah tahu bahwa dari semua lelaki yang ia kenalkan, ada lelaki yang duda, playboy yang menyebalkan, single father yang tidak ia akui pada keluarganya sampai lelaki yang berpikir aku benar – benar membutuhkan suami karena tidak ada yang suka padaku. Hell no.
Setelah konsiderasi yang panjang semalaman. Adakah jawaban lain yang bisa kuberikan? Aku masuk ke dalam mobilnya dan menatapnya untuk waktu yang lama.
"Ada apa?" tanyanya.
"I think I'll say yes,"
Ucapku pelan. Sepelan mungkin dengan sisa tenaga yang aku punya. Aku bahkan tidak punya tenaga lagi untuk memikirkan keputusan yang aku ambil ini.
"Are you serious?"
Alex bertanya kepadaku, sekali lagi. Wajahnya penuh ekspektasi dan perasaan terkejut. Melihatnya dari dekat dan bertatapan seperti ini membuatku menyadari bahwa lelaki dewasa di usianya memang menarik. Ia pandai merawat tubuhnya, memiliki bahu yang bidang, warna kulit yang aku sukai dan memiliki vibe dewasa. Aku mengangguk sekali lagi, menerima lamaran di luar akal ini.
"Great, please marry me,"
Ucapnya mengeluarkan sebuah kotak beludru biru dengan cincin di dalamnya. That thing, glowy. Seolah berteriak memanggilku untuk mengambilnya.
Aku yakin cincin berlian ini sangat mahal dengan ukurannya yang besar.
Dan yang lebih mengagetkan untukku lagi adalah dengan cincin ini, berarti lelaki ini sudah berpikir untuk melamarku pada hari ini. Di pertemuan kedua kami.
"Saya akan bertemu keluarga kamu minggu depan," Ucapnya mencium keningku.
God, what kind of trouble I get myself into?
Aku berusaha menenangkan diri, berulang kali mengatakan pada diriku bahwa semua akan baik - baik saja. Semua baik - baik saja.
Seperti yang dia bilang, kami hanya butuh komitmen. Dan hanya itu yang kami berdua bisa tawarkan. And we both need to get married soon. Sebelum Mama mengenalkan ku dengan lelaki lain.
Dang. You don't even know his job. You know nothing about him.
****
Rumahku seperti kedatangan tamu kepresidenan. Yang benar saja! Aku hampir terjatuh kaget melihat orang - orang yang sibuk menata rumahku dengan dekorasi yang, seperti acara pertunangan besar.
Dan masih dengan piyama merah kesayanganku, aku turun dari tangga perlahan, melihat Mama sudah sibuk mengarahkan para pekerja di rumah kami.
"Ma, apa - apaan ini,"
Dengan susah payah, aku menahan nada kesal di suaraku. Perempuan yang sudah terlihat rapi dan cantik, seperti biasa, menoleh kearahku dengan senyum yang sangat lebar. Senyum yang sudah lama tak kulihat. Senyum penuh rasa kemenangan yang tidak bisa aku terima. Bolehkah aku bilang aku sedikit kesal melihatnya yang merasa puas seperti itu?
"Lo masih belum siap - siap, kak?"
Apalagi ini, aku melihat Keany, adikku yang berada di bangku SMA itu sudah dengan kemeja rapi berjalan di hadapanku. Aku memutar mataku frustasi dengan reaksi yang ia berikan. Ia tidak ada bedanya dengan kedua orangtuaku. Terlalu lama terkena doktrin Mama membuatnya menjadi sedikit menyebalkan.
"Ini cuma lamaran, kenalan. Bukan acara nikahan,"
Mama dan Keany terkekeh bersamaan. Keduanya memang sangat sehati.
"Jangan lebay lo kak, hiasan dikit gini acara nikahan. Lihat lo udah siang gini masih belum mandi,"
Aku mendengus tak percaya, Keany sepertinya memang diciptakan untuk Mama. Mereka sangat kompak untuk masalah beginian.
"Putri Papa kok belum mandi,"
Ini lagi. Papa, suami Mamaku yang sibuknya luar biasa dan membuat Mamaku juga sibuk mengikutinya. Terkadang sesekali bermain golf di waktu senggangnya sudah rapi di rumah.
Biar aku jelaskan, semuanya terjadi setelah peristiwa lamaran Alex padaku. Minggu depannya, Alex datang sendirian menghadap kedua orangtuaku.
Tentu saja disambut dengan baik oleh mereka. Ia bahkan melewati pertanyaan bibit, bebet dan bobot ala Papa dengan sangat baik. Mungkin Papa akan memberikan predikat cumlaude padanya jika kita di bangku kuliah.
Hah. Kamu bicara apa sih, Rania.
Lelaki itu berhasil mengambil hati mereka dengan gestur kecilnya, bahkan mengambil hati Keany dengan menemani cowok itu bermain PS. Dan disaat kami duduk bersebelahan, aku sempat mendengar kalimat ini, "Tante, Om, saya mungkin belum mengenal Nia dalam waktu lama, tapi saya ingin membangun komitmen dengan dia, dan dia akan menjadi perempuan satu - satunya untuk saya,"
Too much of romantic word. Belum lagi latar belakang kami yang juga keturunan Minang, ia dari Mamanya. Sama sepertiku. Sukunya juga terkenal dengan bisa dipercayanya membuat Mamaku langsung jatuh hati.
"Ini masih jam berapaan juga,"
Mama menggeleng dan menarik tubuhku, "Ayo mandi, habis itu nanti make up yang cantik. Awas kalo enggak,"
Dengan pasrah aku melangkah ke lantai atas, dimana kamarku berada. Kamar yang hanya sesekali kutinggali. Seperti hari ini.
I guess there is no turning back.
Aku rasa ketertarikan dan komitmen bisa menjadi sesuatu yang aku pegang dalam pernikahan ini. Alex adalah lelaki yang menyenangkan, kami memiliki ideology yang sama, kepercayaan yang sama dan aku harus berpegang teguh, percaya itu dapat membangun fondasi pernikahan yang diinginkan oleh kami berdua. Semoga saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mountain Commitment (completed)
Storie d'amore[Under seventeen, please don't read this} Alex doesn't trust the word love, and Rania fears love. Both of them met in Marapi Mountain in Sumatra. The coincidence and the friendship between two mountain lovers, they decided to get married. One is to...