| dua puluh sembilan

3.6K 291 0
                                    

"Lo benar - benar gak bisa jaga kepercayaan banget sih, Der," Gerutuku pada sahabatku itu ketika ia menyerahkan barang - barangku yang tertinggal dirumahnya.

Ia memberikan senyum lebar tanpa rasa bersalah, "Tapi kan gara - gara gue kalian jadi baikan," Balas Dera santai sambil melirik Alex yang duduk menungguku di ruang tamu.

"Tetap aja, deh," Jawabku setengah hati. Memilih duduk diatas kasur empuk ini dibanding turun kebawah menemui Alex yang sudah menungguku lebih dari lima belas menit.

"Gue ini peka tau, orang kayak lo yang keras kepala gini susah banget nurunin emosi. Maunya menang terus. Kasian suami lo." Kritiknya padaku. Aku hanya mencibir ucapannya yang seperti ibu - ibu tetangga diperumahanku. Sepertinya usia dan hidup menjadi ibu rumah tangga telah merubahnya begitu banyak.

"Gue bahkan belum selesai ngomong sama Ferrel, udah diseret aja gue sama doi."

"Lagian ngapain lo diam - diam perginya, ketemu sama Ferrel lagi, apalagi sih yang perlu lo bicarain sama dia?"

"Ada deh, banyak hal sebenarnya perlu gue bicarain sama dia, ngomong - ngomong makasih udah numpangin gue disini,"

Dera terlihat kesal, aku yakin ia masih ingin mengomeli ku tentang banyak hal seharian ini. Tapi tubuhku tidak terlalu menginginkannya, sudah terlalu lelah menjalani drama yang tercipta hari ini.

"Jadi sekarang lo mau langsung pulang atau gimana?"

Aku menggeleng, "Malam ini nginep dulu di hotel, pesawat pagi besok,"

"Cepat banget lo perginya," Ucapnya memelukku. Aku tertawa kecil melihat tingkah Dera yang sebenarnya satu tahun lebih tua dariku, sebab ia juga yang selalu bersikap seperti anak kecil. Terutama di moment seperti ini.

"Lo juga sih yang ngabarin suami gue, bukan salah gue dong,"

Ia melepaskan pelukannya dan menepukku pelan, "Lo gatau apa yang suami lo lakuin ya buat nyariin lo?"

Dan aku membalasnya dengan tatapan kebingungan.

***

"Istirahat dulu ya, aku mau ngopi dibawah," Ujar Alex menyelimutiku dengan selimut tebal di dalam kamar ini.
"Lex, tunggu dulu," Ucapku menghentikan langkah Alex yang mulai menjauh dari kasurku.

"Kenapa?" Tanyanya santai.

"Kita ini apa?"

***

Alex pergi meninggalkanku begitu saja tanpa membalas pertanyaanku. Well, jika boleh jujur, aku juga tidak begitu berharap laki - laki itu membalasnya.

Akan sangat aneh jika ia membalas pertanyaan itu dengan jawaban yang sangat ingin ku dengar, nonsense rasanya.

Waktu terlalu cepat berlalu sampai - sampai aku gak sadar jika aku menjalani takdir yang berbeda dari delapan bulan yang lalu. Aku tidak punya penyesalan menolak orang yang ibuku jodohkan, aku tidak menyesal menyetujui perjanjianku dengan Alex, atau lebih - lebih menyesal mengenal Ferrel empat tahun yang lalu.

Dan mengingat perkataan laki - laki itu tadi, aku tak bisa berpura - pura untuk tidak setuju dengannya.

From : Ferrel the crap

Can we meet? I was wrong and I want to finish this with you, Rania.

Aku menghela napas. Heran dengan lelaki ini yang masih belum mengerti pesanku tadi.

Seandainya ia mengatakan ini empat tahun yang lalu, seandainya ia meminta maaf padaku empat tahun yang lalu. Terlalu banyak kata 'seandainya' didalam pikiranku sekarang.

Bagaimana seandainya ia meminta maaf padaku saat itu? Apakah aku akan memaafkannya atau tetap memutuskannya?

Seandainya seperti itu, apakah aku bisa menjalin hubungan kembali dan jatuh cinta? Bertemu seseorang yang bisa menerimaku, dan mencintaiku. Dan begitu juga aku, untuk mencintaiku.

Seandainya berhasil membuatku berandai - andai tentang banyak hal dan bohong jika aku tidak berpikir mengenai hubunganku dan Alex.

Having a child is not an easy thing, untuk orang yang bersikap kekanakan dan egoistik sepertiku bukan perkara mudah. Dan aku mulai merasakan ketakutan.

Layar ponselku menunjukkan sebuah panggilan dari Ferrel.

Aku hanya tersenyum sarkatis melihatnya. Entah mengapa tiba - tiba aku yang merasa buruk atas dia. Dulu segalanya terasa benar, bahwa Ferrel yang salah dan aku membencinya dengan sepenuh hidupku. Tapi kini, aku merasa sama brengseknya dengan hampir menghilangkan nyawa seorang anak dan membuatnya lahir di sebuah keluarga yang tidak saling mencintai.

Aku menutup ponselku dan membiarkan telepon dari Ferrel. Aku yakin laki - laki itu akan mengerti dengan sendirinya kalau aku sudah memaafkannya dan tidak ingin memperpanjang masalah itu.

Sekarang yang satu - satunya aku pikirkan hanyalah apa yang sebenarnya Alex lakukan untuk mencariku. Dera sama sekali tidak memberitahuku dan perasaan bersalah muncul.

Bagaimana jika seisi keluarga Wijaya tau tentang hal ini? Reaksi seperti apa yang akan muncul?

Memikirkan hal ini anehnya membuatku takut.

**

Halooo. Disini belum ada konflik banget ya?  Insha Allah next chapter udah ada konflik nih guys. Tolong beri komentar yang membangun ya.  Makasih

Mountain Commitment (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang