1. Fight

238 10 13
                                    

"Ma, aku pengen berhenti sekolah.."

"Ya udah, berhenti aja sana.."

"Kali ini, aku seriusan ma.."

"Aduh! Hana! Udah berapa kali mama bilangin sih? Kita udah bicarain ini ratusan kali."

"Tapi, kali ini beneran ma.."

"Trus mau ngapain kalo udah berhenti sekolah?! Yang kamu pikirin cuma korea aja tau nggak!"

"Mama ini tau apa tentang korea?!"

"Korea itu segalanya buat aku, makanya aku mau berhenti sekolah buat ke korea! Dan mama tau?! Yang mama pikirin itu cuma Alex doang tau nggak!" Setelah aku mengatakan kata-kata laknat itu, mama menamparku. Mama yang nggak pernah ngeliat aku sebagai anaknya.

Dengan cepat aku menatap mama tajam lagi.

"Heh! Mama pikir dengan nampar aja udah buat aku kapok?! Nggak ma, ini realita yang nggak kayak di film-film."

"Udah muak banget tau nggak aku sama mama!"

Aku pergi setelah drama yang mengejutkan ini. Aku memasuki kamar dan menabrak sesuatu dari balik pintu.

Adikku.

Duduk sambil memegangi dahinya yang kayaknya habis njedot di pintu.

Muka mau nangis. Ekspresi yang paling gue benci.

"Udah nangis sono. Bilang aja ke mama gue yang njedotin."

Dia menangis. Keras. Seperti anak kecil pada umumnya kalo habis kesakitan yang keras banget. Jarak antara mannequin challenge ama nangis nya lama. Ntar kalo nangis juga keras banget.

"Alex!" Mama datang sambil nggedor pintu. Meluk Alex penuh cinta. Gue sih udah biasa di pilih kasih kayak gini. Di depan mata gue.

"Kamu apain Alex?!" Bentak mama.

"dia sendiri, salah siapa nguping pembicaraannya orang. Nggak usah nguping aja kali. Lu seharusnya keluar kayak biasanya dan tontonin gue sama mama kayak nonton sinetron!" Marah gue ke Alex yang masih nangis keras.

"Hana! Udah cukup! Kamu keterlaluan banget ya?! Dasar anak bangs*t!"

"Oh, aku anak bangs*t ya?! Berarti ibunya yang bangs*t!"

"Hana! Cukup! Kamu udah jadi anak durhaka ya!"

"Terserah mama sih.. Aku bukan anak durhaka.. Tapi, aku anaknya papa!"

Aku mengeluarkan koper yang udah aku siapin dari lusa kemarin untuk pindah dari rumah sok suci ini.

Aku melepaskan kunciran rambutku dan membuatnya terurai. Berjalan mendekat ke arah mama yang masih meluk Alex penuh sinetron. Jongkok penuh sinis.

"Oh iya, ini bukuku yang ada pr-nya buat besok, lusa, dan besok lusanya lagi. Aku tau kok apa yang mama sukai."

Mama hanya diam.

"Mama suka banget kan sama angka-angka raport yang isinya cuma angka 10 dan huruf A?"

"Ini aku kasih.. Se-enggaknya aku kasih apa yang mama suka dari aku. Ya~ cuma satu ini.."

"Kamu itu dapet kepinteran otak dari mama ya!?"

"Ohh! Jangan salah paham ma.. Aku dapat kepinteran sama kemanusiaan dari papa." Aku mendekatkan wajahku ke telinga mama.

"Apa lu liat-liat!" Lirikku ke Alex yang masih terisak.

"Pergi dulu ya ma~ jangan lupa dirawat yang bener Alex. Jangan sampe dia jadi kayak anak bangs*t kayak aku."

Aku pun berjalan cepat menuju gerbang rumah.

-Alex POV-

"Kakak!" Panggil ku kepada kakak perempuanku yang membawa koper pink. Celana jeans pendek, topi baseball pink, jaket denim biru cerah.

Mama hanya diam di tempat melihatku berlari kecil mengejar kakak yang menuju ke gerbang rumah.

Untungnya kakak masih mau menolehku. Meskipun dengan sinis.

"Kakak mau kemana? Nanti yang nemenin Caca tidur di kamar siapa? Caca takut."

Kakak jongkok, menyamakan wajahnya dengan wajahku.

"Alex udah gede, jangan pake kata Caca lagi. Kan ada mama yang bisa nemenin Alex tidur di kamar." Kakak mengelus rambutku yang lurus pendek.

"Maaf ya.. Kakak nggak bisa adaptasi di sini. Nanti kalo kakak mati gimana? Alex udah tau tentang adaptasi makhluk hidup kan?"

Aku hanya mengangguk kecil. Mengusap air mata.

"Pasti sakit ya? Maaf ya, kakak udah kasar sama Alex. Alex harus jadi orang sukses ya~ jangan niru-niru kakak.." Kakak mengelus dahiku yang memar sebelah kiri dengan jempolnya.

"Sana masuk, hibur mama.. Kasihan mama sendirian nanti.." Kakak berdiri, menunduk menatap mataku.

Bodohnya, aku langsung tersenyum. Mengangguk pasti dan berlari masuk ke rumah. Mencoba menghibur mama.

-Hana POV-

Aku keluar menggeser gerbang pintu, menutupnya kembali. Mataku langsung tertuju pada seorang om yang menjadi ayah tiriku.

Btw, aku nggak pernah manggil dia papa maupun ayah. Gue selalu panggil dia om.

"Aduh, om bikin kaget aja!" Aku memegangi dada.

"Kamu mau kemana, Hana?" Ucap om ini dengan cepat. Sok wibawa.

"Ei-ei, jangan nge rap juga dong om.. Untung gue ngerti.."

"Itu bukan urusan om. Om cuma harus jaga mama sama Alex. Mereka yang paling butuh om."

"Dan kamu juga butuh om.." Balasnya.

Aku menghela napas.

"Nggak om. Mereka kan keluarga om. Aku cuma anak yang dibawa mama. Jagain mama ya om. Aku sayang mama kok."

"Kalo sayang sama mama kenapa harus pake acara pindah rumah gini?"

"Aku lebih sayang papa, om."

"Aku mau kembali ke papa."

"Emangnya kamu punya uang?"

"Aku punya kok om. Jadi om nggak usah khawatir."

"Sampai kapan kamu panggil saya om?"

"Jadi om berharap banget ya aku manggil om itu papa ya?"

"Maaf ya om, tapi aku nggak pernah punya pikiran untuk manggil om itu papa."

"Makasih buat semuanya ya om. Om itu baik banget sama aku kok. Aku akuin itu."

Kemudian aku pergi. Suara geretan koper meramaikan suasana awkward ini.

"Hana!" Panggil om itu.

Aku berbalik.

Mendapati om itu memberikan sebuah kartu kredit.

"Setidaknya pakai ini."

"Wah. Om ini suka liat sinetron banget ya? Kenapa hidupku kayak sinetron banget sih?"

"Ini bukan sok sinetron, Hana. Cuma om mau kasih ini aja."

"Cuma mau kasih doang? Nggak dikasih tau passwordnya?"

"Passwordnya ulang tahunmu."

"Makasih ya om.. Membantu banget kok. Ini boleh kubuat shopping kan?"

"Terserah kamu.."

"Jadi ini kayak uang perdamaian gitu nggak ya? Biar kalian bisa hidup tenang?"

Nampaknya kata itu membuat om itu marah.

"Haha, nggak-nggak om.. Makasih ya.."

Aku berbalik, berjalan lagi dan menoleh kebelakang.

"Om telolet om!" Kataku mengangkat kartu kredit yang tadi dia berikan.

***

I'll do anything for ya.Where stories live. Discover now