Tahun 2008
"Ke mana lagi kamu semalem? Ditelepon nggak diangkat. Di-SMS nggak bales."
Sekilas aku melihat Bunda berkacak pinggang menyambut Om Kus yang baru saja masuk rumah.
"Cerewet! Jadi istri itu nggak usah kebanyakan protes. Sudah tahu suami kerja cari duit, masih saja nggak percaya!" omel Om Kus sembari melepas kemejanya.
Aku yang tengah duduk di ruang tamu pun merasa kurang nyaman melihat pertengkaran mereka.
Aku mendengar Bunda tertawa sumbang. "Kerja cari duit? Mana hasilnya, mana?" Bunda membuntuti Om Kus masuk ke kamar.
"Kamu itu duit saja yang dipikirin!" bentak Om Kus pada Bunda.
"Hah! Apa nggak salah? Kamu lupa siapa yang nyolong di kantor?" balas Bunda tak kalah emosi.
Aku tersentak saat mendengar suara pintu yang dipukul oleh Om Kus. Kemarin lusa, aku harus merelakan pot hias di halaman rusak ditendang Om Kus. Saat itu, Bunda tidak memberinya uang untuk membeli rokok.
Kemarin, piring di dapur pecah dibanting Bunda. Semua hanya karena Om Kus mencacat masakan yang dibuat Bunda dengan susah payah.
Hari ini, pintu yang menjadi sasaran kemarahan lelaki itu. Entah besok apalagi yang mereka ributkan dan barang apalagi yang menjadi korban.
Sudah lima bulan, Bunda dan Om Kus selalu ribut. Awalnya hanya cek-cok kecil, tapi menjadi semakin memanas sejak Om Kus dipecat dari pekerjaan tiga bulan lalu. Padahal usia pernikahan mereka baru tiga tahun, tapi hawa neraka selalu melingkupi rumah ini.
Kalau aku amati, akar permasalahan terletak pada Om Kus. Terlebih, setelah dia terbukti menyalahgunakan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi. Bunda sama sekali tidak mengetahui ke mana perginya uang itu. Mulai saat itulah, setiap hal yang diperbuat Om Kus akan salah di mata Bunda, pun sebaliknya.
Aku menyambar tas cangklong, memasukkan beberapa buku pelajaran dan alat tulis. Pertengkaran ini tak mungkin reda dalam waktu singkat—paling tidak sampai Bunda berangkat kerja nanti. Oleh karena itu, aku memilih untuk pergi ke perpustakaan demi mencari ketenangan. Aku melirik sekilas jam yang tergantung di dinding kamar, baru pukul 11.20. Masih cukup waktu untuk mampir ke warung makan di seberang jalan, sebelum kembali berkutat dengan tumpukan buku fisika. Besok hari terakhir UTS (Ujian Tengah Semester) dengan mata pelajaran fisika. Aku tidak mau gara-gara pertengkaran Bunda, membuat aku gagal mengerjakan soal ulangan.
Sekilas masih kudengar pertengkaran dari dalam kamar Bunda. Aku mengurungkan niat untuk berpamitan pada Bunda.
"Mau ke mana, Mala? Panas-panas 'gini ndak takut item?" sapa Budhe Paidi-tetangga sebelah rumah-saat aku menutup pintu gerbang.
"I-iya, Budhe. Mau ke perpus, ng ... mau belajar di sana, Budhe." Aku memberi salam pada wanita yang telah kuanggap seperti budhe sendiri itu.
Budhe Paidi melirik ke dalam rumah. "Padu maneh, Mal?"
Aku tersenyum kikuk. Mau menutup-nutupi juga tak mungkin, mengingat rumahku dan Budhe Paidi menempel tembok. Terkadang orang ngobrol saja pasti terdengar, apalagi suara Bunda dan Om Kus yang bertengkar.
"Bu-Budhe mau pergi y-ya?" Aku melihat Pakdhe Paidi mengeluarkan mobil dari garasi.
"Iya, La. Mas Eko, suamine Mbak Puji dines ke Kalimantan. Budhe ndak tegel, nek mbakyumu Kui sendirian di rumah, momong dua anak sendirian. Ini Budhe mau ke Semarang, dianter Pakdhe," jelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTER EGO (TAMAT)
General FictionTuhan sangat ndak adil. Aku sudah kehilangan segalanya. Kebahagiaan, hidup tenteram, mahkota yang paling berharga, bahtera rumah tangga bahkan buah hatiku tercinta. Aku benci hidup ini. Benar-benar benci. Aku berada dalam dasar terbawah dari rotasi...