PART 12

660 73 46
                                    

Tahun 2008

"Pagi, semuaaa!" sapaku saat memasuki Joglo besar di Candrakirana.

Sanggar yang lima tahun belakangan ini menjadi keluarga keduaku. Gimana nggak, waktuku lebih banyak bareng mereka dibanding Mami. Dan aku sudah nyaman banget berada di keluarga ini.

Sanggar yang dulunya cuma ada satu Joglo utama, sekarang sudah direnovasi menjadi lebih luas. Halaman depan yang semula ditumbuhi pohon pisang, disulap jadi Joglo kecil. Sedangkan Joglo utama ini pun menjadi lebih luas. Kesemuanya memang untuk latihan tari sesuai kelas masing-masing.

Di Candrakirana sendiri, ada tiga kelas. Kelas A untuk anggota baru, biasanya mereka berlatih gerak dasar tari—baik itu kaki, tangan maupun tubuh. Di Kelas A ada dua grup, grup Rama dan Shinta. Grup Rama untuk cowok, Shinta untuk cewek.

Kalau mereka sudah lolos ujian di kelas A, maka akan naik ke kelas B. Nah, kalau kelas B, sudah mulai dipisah berdasar umur. Untuk anak usia SD latihannya beda dengan yang SMP ke atas.

Kelas terakhir–kelas C–khusus untuk yang ingin mendalami seni wayang orang. Biasanya anggota di kelas C diberi mandat untuk mengajar di kelas A dan B. Aku sendiri masuk di kelas C, tapi nggak ikut ngajar tari. Aku merasa masih belum mumpuni.

Kulihat beberapa anak sedang latihan tari merak di Joglo kecil untuk lomba bulan depan. Mbak Lisnur yang sedang mengajari mereka.

Sedangkan di Joglo besar, hanya ada beberapa orang saja. Mungkin belum pada datang.

"Bimo, Mas Sakti, Om Budi ... aku bawa pisang goreng, nih. Mau nggak?" tanyaku sembari meletakkan tupperware di meja dekat sound sistem.

"Nyogok, nih, anak," celetuk Bimo.

"Biar nggak kena omel tuh, Bim," tambah Mas Sakti yang sedang mencoba kendangnya.

"Maaf, deh. Kemarin aku beneran nggak bisa dateng. Maaf, yaaa." Aku duduk di lantai sebelah Bimo, nggak lupa memasang wajah bersalah, biar lebih meyakinkan.

"Ngapain aja seminggu kemaren nggak ke sini? Semedi, Buk?" tanya Bimo sambil melirik padaku.

Aku menunduk, menyembunyikan wajahku darinya. "Aku kan belajar buat UTS, Bim. Baru selesai kemaren, jadinya baru bisa ke sini sekarang."

"Lhah, tumben kamu belajar, Put! Biasanya juga nyontek," olok Mas Sakti.

"Yeee ... jelek-jelek gini, aku rajin, Mas."

"Rajin apaan, hah? Trus siapa, ya, yang waktu itu sibuk nulis sontekan di kertas? Lupa?" ejek Om Budi sambil mencomot pisang goreng.

"Wah ini ... nggak bener banget tuh orang. Dasar nggak tahu malu," dampratku.

"Woi! Itu kamu, Put. Mulai pikun?"

"Berlagak pikun tuh, Om. Kayak nggak kenal Putri," tukas Mbak Lisnur yang berjalan menuju tempat kami duduk.

"Eh, ada Mbak Cantik. Udah selesai ngajarnya, Mastah?" sapaku sembari melambaikan tangan.

"Udah, mereka cuma kurang kompak pas pindah formasi. Dua tiga kali latihan lagi juga udah kompak." Mbak Lisnur duduk selonjoran di sebelahku. "Kamu tuh, Put, sekali-sekali ngajar tari. Wong sudah pinter, ilmunya buat apa coba?" lanjutnya lagi.

ALTER EGO (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang