"Kumala sembunyi lagi, Mi." Aku melihat raut khawatir pada wajah wanita yang telah melahirkan Kumala.
"Dia ... dia tidak nerima kamu?"
"Bukan begitu, Mi." Aku harus bilang apa sama Mami, "dia nggak bisa nerima kalau ternyata ada suatu hal buruk yang terjadi antara dirinya dan Bumi."
"Dia ingat, Ness?"
Aku menggeleng lemah, "Aku keceplosan bilang tentang Bumi dan kecelakaan Satria. Padahal aku sendiri yang mewanti-wanti Mami untuk nggak bilang ke Kumala, tapi ...."
"Cepat atau lambat Kumala juga pasti tahu," ucap Mami sambil keluar dari kamarku.
Walau Mami ngomong begitu, tapi wajahnya tetep nggak bisa bohong. Wajar kalau Mami cemas, bagaimana pun juga Kumala anak kandungnya. Anak yang dilahirkan dan dibesarkannya sendiri. Sedangkan aku, cuma sosok ciptaan Kumala. Porsiku tentu jauh lebih sedikit di hati Mami ketimbang Kumala.
Sakitnya tuh di sini, di dalam hatiku
Sakitnya tuh di sini, melihat kau selingkuh ....Aku mengambil ponselku yang tengah bernyanyi. Bryan? Ada apa dia telepon?
"Halo, Bry," sapaku.
"Assalamualaikum, Sa." Ini cowok bisa aja bikin aku malu.
"Wa'alaikumussalam, Bry. Ada apa, kok tumben pagi-pagi telpon?"
"Hari ini kamu ada acara?" tanya Bryan, terdengar suara mesin dari sana. Pasti dia masih di pabrik.
Memang selain kerja di kantor Pajak, setiap Sabtu-Minggu Bryan membantu Eyang Dalmanik mengawasi pabrik batiknya.
"Hmm, kayaknya nggak ada. Bentar lagi berangkat ke butik, paling ntar siang keluar cari makan sama Kirana. Ada apa memangnya?"
"Nanti bisa makan siang bareng?"
"Ditraktir 'kan?" aku bertanya sembari tertawa kecil.
"Maunya ditraktir di mana?"
"Aku baru pengen sate jamur, Bry. Kemaren Sisil dari sana, katanya enak. Aku pengen nyoba sate jamur, tongseng jamur sama katanya carica squash seger deh."
Kudengar tawa tertahannya. "Kenapa ketawa?" tanyaku bingung.
"Kamu masih nggak berubah, Sa. Suka ngatain Kirana doyan makan, eh kamunya sendiri hobi kuliner."
"Biarin. Yang penting kan bodiku masih aduhai."
"Ntar aku jemput jam satuan ya, aku selesaiin kerjaan Eyang dulu."
"Okay. Nggak usah kemrungsung, Bry. Seselesainya aja," pesanku sebelum kami memutus sambungan telepon.
Aku memilih sebuah terusan batik selutut, dengan motif sinaran berwarna cerah. Aku memiliki kulit kuning cerah, dan tubuh ramping, sehingga cocok dengan model pakaian apa pun. Bukannya sombong, cuma itu kenyataannya. Mumpung aku masih bisa pakai yang bagus-bagus, siapa yang tahu umur orang kan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTER EGO (TAMAT)
General FictionTuhan sangat ndak adil. Aku sudah kehilangan segalanya. Kebahagiaan, hidup tenteram, mahkota yang paling berharga, bahtera rumah tangga bahkan buah hatiku tercinta. Aku benci hidup ini. Benar-benar benci. Aku berada dalam dasar terbawah dari rotasi...