PART 22

440 70 48
                                    

"Makasih banyak ya, Bry," ucapku pada Bryan, saat dia mengantarkanku pulang.

"Kamu ada masalah, Sa? Aku perhatiin dari tadi diem terus. Mau cerita sesuatu?"

Aku tersenyum sambil menggeleng. "Cuma capek aja, Bry."

"Aku nggak kamu suruh mampir, Sa?" Bryan menyentuh tanganku yang sedang melepas sabuk pengaman.

Aku menatapnya. "Nggak sekarang ya, Bry."

"Kenapa, Sa? Apa kamu belum yakin sama aku?" tanyanya dengan penuh kesabaran.

"Bryan, bukan begitu. Kamu baik banget, bahkan terlalu baik untukku. Ada hal yang belum aku ceritakan ke kamu, dan saat ini aku masih takut."

Bryan menyentuh pipi kananku, membelainya lembut. "Apa tentang penyakitmu?"

Aku menekan pipiku ke telapak tangannya, menyerap kehangatan yang diberikannya. "Kurang lebih itu, Bry."

"Vanessa, aku cinta sama kamu. Perasaanku tidak pernah berubah sejak lima tahun lalu, bahkan aku semakin sayang sama kamu. Jadi tolong, biarkan aku menemanimu, Sa. Aku sudah bilang, apa pun penyakitmu katakan terus terang. Aku akan selalu ada untukmu. Kita bisa mencari obatnya bareng-bareng, Sa."

Aku melihat ketulusan di matanya. Namun, bisakah dia menerimaku. Aku memeluk Bryan erat, air mataku tak dapat terbendung. Nggak tahu kenapa, aku jadi selemah ini. Aku butuh Bryan, aku butuh tempat bersandar.

"Aku ... aku juga sayang sama kamu, Bry. Aku cinta, tapi ...," ucapanku terhenti oleh isak tangis yang semakin menjadi.

Aku merasa begitu lelah. Selama berpuluh tahun selalu menjadi penopang hidup Kumala. Aku ingin istirahat barang sejenak. Aku pun ingin mendapat kehangatan.

Bryan membelai rambutku, bibirnya membisikkan kata-kata penenang. "Aku ... aku bukan Vanessa, Bry," ucapku lemah.

Kurasakan tangan yang tadinya membelai rambutku, kini terdiam di sana. Tubuhnya pun menegang. Mungkin dia masih mencerna pernyataanku yang membingungkan tadi.

"Sasa?"

"Aku ini nggak nyata, Bry. Aku ... aku cuma sosok yang diciptakan oleh Kumala."

"Apa maksudmu?" Bryan melepaskan pelukannya.

Kedua tangannya masih memegang bahuku dengan lembut. Matanya menatapku tajam namun penuh kasih sayang. Sebelah tangannya menghapus tetesan air mata yang masih turun.

"Sssttt ... jangan nangis, Sa. Kumohon jangan nangis."

Kelembutan, perhatian dan tatapan ini, akankah hilang saat aku mengatakan sejujurnya? Aku meraih tisu di dashboard mobil, menyeka mata dan hidungku.

"Kumala ... kamu ingat dia? Nama asliku?" Setelah Bryan mengangguk, aku melanjutkan penjelasanku, "dia berkepribadian ganda, Bry, dan akulah alter-nya. Aku dan Kumala, dua orang berbeda dalam satu tubuh."

Bryan masih terlihat berpikir, dahinya mengkerut dalam. Aku tahu, dia tidak bisa menerimaku.

"Aku–Vanessa–tidak memiliki identitas, Bry. Aku sendiri yang memberi nama Vanessa. Tanda pengenal, akte lahir, ijazah dan seluruh identitasku adalah Kumala Putri."

Tangisku kembali membeludak. Bryan hanya diam, nggak memberi respon sedikit pun. Padahal aku sudah tahu konsekuensinya, tapi hatiku tetap saja perih. Aku merasa ditolak.

"Dan aku ... aku ... sudah menikah." Bryan melepaskan tangannya dari bahuku. Rasa hangat itu tercabut paksa dari tubuhku, membuatku menggigil kedinginan. Hatiku terasa sangat dingin. Aku kehilangan segalanya.

ALTER EGO (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang