Tahun 2009
"Aneh."
Aku merasa ada yang tidak beres dengan rambut dan wajahku. Lagi. Aku turun dari tempat tidur, melihat pantulan diriku di cermin. Rambut lurusku sudah berubah jadi model keriting spiral dan berponi. Kulihat catok keriting tergeletak begitu saja di meja rias. Kapan aku memakainya? Dan ini ... kapan aku dandan? Sejak kapan aku memakai lipstik dan eye shadow?
Entah apa yang terjadi. Akhir-akhir ini aku merasa kehilangan beberapa potong ingatan. Kalau tidak salah ingat, mulai tujuh tahun lalu aku jadi sering lupa. Pernah suatu waktu aku terbangun di teras depan. Pernah juga aku merasakan seperti deja vu. Dan belakangan ini, seolah ada sosok asing yang wira-wiri di ingatanku. Tapi anehnya, aku sama sekali tidak mengenalnya.
Aku memindai lagi penampilan yang terpantul dalam cermin. Dari mana kudapatkan gaun seperti ini? Gaun merah cabai, dengan rok melebar mulai bagian perut. Sangat cantik. Bahannya halus, kelihatan mahal. Untuk apa aku berias seperti ini? Seperti bukan diriku.
Segera kulepas gaun, menggantinya dengan celana dan kaus yang biasa kupakai. Menyimpan gaun itu di dalam lemari, keburu Bunda melihatnya. Aku juga menghapus riasan. Menyisir rambut dengan cepat, hingga ikal-ikal indah itu kembali lurus.
"I-ini baru Mala yang sebenarnya," gumamku sembari balik menatap sepasang mata dari dalam cermin. Aku terkejut. Ada senyum di bibir itu, tapi bukan senyumku.
"Mala!" Aku berjingkat mendengar suara Bunda yang kini sudah berdiri di ambang pintu kamar. "Mau sampai kapan kamu ndekem di kamar terus? Bunda bosen lihat kamu klumbrak-klumbruk kaya gombal basah."
"Ma-maaf, nggg ... ada apa, Bund?"
"Kamu membolos sekolah lagi?" Menurutku itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan. "Sudah enam bulan lebih, Mala! Kamu masih nggak berubah. Apa kamu pikir kalau kamu seperti ini bisa mengubah masa lalumu?"
Lagi-lagi Bunda mengungkit kejadian laknat itu. Enam bulan, tapi buatku seperti baru semalam. Hingga saat ini pun aku masih sering bermimpi buruk. Lagipula, untuk apa aku sekolah? Toh masa depanku sudah hancur. Segiat apa pun aku berusaha, aku tetaplah sampah.
"Mala! Kamu dengerin Bunda nggak? Besok kamu harus masuk sekolah. Bunda nggak mau dipanggil gurumu lagi gara-gara kamu sering mbolos. Lagian kamu itu ke mana? Pagi izin berangkat sekolah, tapi gurumu bilang kamu nggak masuk. Kamu itu sudah kelas 3 SMA, sebentar lagi ujian. Maumu apa, keluyuran nggak jelas, hah?"
"Ma-mala juga ndak tahu, Bund. Mala bingung," ucapku lirih. Entah bagaimana aku harus menjelaskan pada Bunda tentang keanehan yang kurasakan. Aku sendiri bingung.
"Halah! Alasan saja. Mana mungkin kamu nggak tahu? Memange kamu kerasukan?! Dari kecil kamu sudah aneh."
"Ta-tapi, Bund, Mala benar-benar ndak ingat."
"Mala," panggil Bunda lirih, "kamu nggak gila 'kan? Bunda malu kalau kamu sampai gila," lanjutnya.
Aku terkejut, kenapa Bunda sampai berpikir aku gila. Seaneh itukah sikapku?
"Dengar, Mala. Bunda itu juga pusing. Malu. Sudah dua kali Bunda cerai, semuanya karena perempuan lain." Sekilas aku melihat sorot menyalahkan dalam tatapan Bunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTER EGO (TAMAT)
General FictionTuhan sangat ndak adil. Aku sudah kehilangan segalanya. Kebahagiaan, hidup tenteram, mahkota yang paling berharga, bahtera rumah tangga bahkan buah hatiku tercinta. Aku benci hidup ini. Benar-benar benci. Aku berada dalam dasar terbawah dari rotasi...