Aku benar-benar lelah. Terlalu banyak hal yang kualami hari ini. Pertama, Bryan. Lalu, Bumi. Rasanya seperti naik rollercoaster, perasaanku naik turun secara ekstrem.
Setelah Kirana mengantarkanku pulang–akhirnya aku bisa memberitahu di mana rumahku–aku merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit kamar. Kira-kira apa yang bakal terjadi, ya.
Bumi bukanlah orang yang hanya sekadar numpang lewat di hidup Kumala. Dia lah yang menyebabkan Kumala melarikan diri seperti ini. Aku yakin kemunculannya akan berdampak padaku dan Kumala. Dan aku takut.
Di satu sisi aku tetap ingin hidup sebagai Vanessa, tapi di sisi lain aku tahu ini salah. Tubuh, kehidupan dan semua ini milik Kumala. Jujur, aku menyayanginya. Aku merindukan kehadiran Kumala. Aku kangen berinteraksi dengannya. Yah, walau dia belum menyadari kehadiranku.
Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 18.00, aku belum mandi. Rasanya pliket dan bau, tapi kok mager. Coba ada Kumala di sini, aku kan bisa tidur, dan dia yang mandi. Aku tersenyum curang.
"Aku kangen sama kepolosanmu, La. Ayo dong, ke luar. Tunjukin lagi eksistensimu. Apa kamu tahu, tadi aku ketemu sama Bumi. Iya, Mas Bumi-mu itu. Apa kamu nggak kangen sama dia, La? Apa kamu nggak pengin tahu kejadian yang sebenarnya? Terkadang apa yang kita pikirkan itu jauh dari kenyataannya lho," gumamku lirih.
"Nes." Kudengar Mami memanggilku dari luar.
"Ya, Mi?" Sumpah, aku males berdiri. Mau gerak saja rasanya berat.
Aku mendesah lega, saat melihat Mami membuka pintu. Syukurlah, Mami yang berbaik hati masuk kamar. Tebak-tebakan, pasti Mami cuma berdiri di dekat pintu, dan ngelihatin aku dari sana.
Aku tertawa tertahan, sampai perutku berasa kencang. Bener-bener nggak punya gaya lain, ya, mamiku ini? Sekali-kali masuk terus duduk di kasur kek, atau jongkok kek, atau jalan kayang. Okay, aku mulai lebay.
"Ada apa, Mi?" Aku bangun dari posisi tiduran, lalu duduk bersila di pinggir ranjang.
"Harusnya Bunda yang tanya 'kan. Ada apa sama kamu? Bunda lihat, pulang dari pergi tadi, kok jadi murung."
Wuow, kemajuan pesat. Mami sekarang begitu perhatiannya sama aku.
"Aku ketemu Bumi, Mi," jawabku singkat. Aku menunggu reaksi Mami.
"Lalu?"
"Ya aku pura-pura nggak kenal, Mi. Dia juga kayaknya masih ragu, apa aku Kumala atau bukan."
"Nes, sebenarnya apa yang terjadi antara Kumala dan Bumi? Apa benar kamu tidak tahu?" Mami bertanya lagi tentang hal itu.
Sejak kecelakaan yang merenggut nyawa Satria, Mami selalu bertanya padaku tentang penyebabnya. Dan selalu aku jawab tidak tahu. Aku sendiri masih bingung dan belum yakin, apa hubungan Bumi dengan semua ini. Saat itu, aku masih belum sadar dari tidur panjangku. Namun, aku yakin–benar-benar yakin–bahwa Bumi ada sangkut pautnya.
Hanya ada beberapa potong adegan yang bisa kutangkap saat itu. Bumi sedang dinas entah di mana, lalu Kumala meneleponnya. Entah apa yang terjadi, aku hanya menangkap suara perempuan. Lalu Kumala nekat membawa mobil, dan kecelakaan itu pun tak terelakkan lagi.
Hingga kini, aku masih dihantui oleh kata-kata yang selalu terngiyang di benakku. Seperti 'kamar mandi', 'kamar', 'Rizky' dan 'tidur'. Benar-benar membuatku bingung.
"Mi, aku sendiri belum yakin, ada hubungan apa antara Bumi dengan menghilangnya Kumala. Apa benar dia yang menyebabkan semua ini? Apa yang kita lakukan selama ini, dengan menjauhkan sosok Bumi dari Kumala sudah benar? Benarkah cara ini membuat Kumala membaik atau jangan-jangan, memperparah Kumala? Nyatanya dua tahun Kumala masih belum mau muncul. Aku jadi ngerasa egois, Mi."

KAMU SEDANG MEMBACA
ALTER EGO (TAMAT)
Ficción GeneralTuhan sangat ndak adil. Aku sudah kehilangan segalanya. Kebahagiaan, hidup tenteram, mahkota yang paling berharga, bahtera rumah tangga bahkan buah hatiku tercinta. Aku benci hidup ini. Benar-benar benci. Aku berada dalam dasar terbawah dari rotasi...