"Mas Bumi?"
"Sayang, aku merindukanmu."
Mas Bumi–suami yang sangat kucintai–berdiri dengan gagahnya di seberang jalan. Merentangkan kedua tangan, menyambutku ke dalam pelukannya. Aku berjalan seraya tersenyum, aku sudah tidak sabar untuk segera berlabuh di dadanya yang hangat.
Kuhentikan langkah, saat kulihat seorang wanita terlebih dahulu memeluknya. Siapa perempuan itu? Aku tidak mengenalinya. Kenapa Mas Bumi juga balas memeluknya?
Tunggu, Mas! Kenapa kamu malah pergi dengan perempuan lain? Mas Bumi!
"Mas Bumi, tunggu! Mala mohon jangan pergi, Mas .... Mas Bumi!"
Aku terbangun langsung terduduk dengan keringat membanjiri seluruh tubuh. Jantungku masih berdebar kencang, napasku tersengal-sengal. Apa itu tadi? Mengapa aku bermimpi seperti itu?
"Ada apa, Nes?" Bunda membuka pintu kamarku dengan keras.
"Nes?" tanyaku bingung.
Bunda berdiri mematung di ambang pintu kamar. Tangan kirinya masih memegang handle pintu.
"Nes?" aku bertanya lagi.
"Kumala?"
Ada apa dengan Bunda? Kenapa terlihat begitu terkejut? Ada apa denganku? Dan, kenapa aku ada di sini–di rumah Bunda? Bukannya aku sudah menikah dengan Mas Bumi?
"Bunda, ke-kenapa Mala ada di sini? Ma-mana Mas Bumi, Bund? A-apa sudah berangkat kerja?"
Aku melihat Bunda mundur selangkah. Ada apa ini?
"Kamu sudah bangun," gumam bunda lirih yang masih bisa kudengar. "Sebaiknya kamu mandi dulu, biar segar."
Aku merasa Bunda menghindariku, Bunda keluar kamarku dengan tergesa-gesa, bahkan bahunya sampai terantuk kosen pintu. Aku melihat sekeliling kamar. Banyak sekali perubahannya. Kamarku berwarna pink dan ungu muda, sejak kapan aku mengganti catnya.
Aku melihat ada sebuah handphone yang tergeletak di nakas. Apa itu milikku? Namun, seingatku ponselku tidak secanggih ini. Kuambil benda kotak pipih itu, kucoba membuka kuncinya, tapi berkali-kali gagal. Sepertinya aku pernah mengalami hal seperti ini, sering menemukan ponsel yang tidak kuketahui milik siapa.
Tidak mungkin kalau milik Bunda. Atau mungkin punya Mas Bumi? Sebaiknya nanti kutanyakan padanya sepulang kerja. Kuletakkan kembali ponsel itu di nakas.
Benar kata bunda, sebaiknya aku mandi. Badanku terasa lengket. Aku beranjak dari kasur, sekilas kulihat pantulan diriku di kaca rias. Dan langkahku langsung terhenti.
"A-ada apa ini? Ma-mala ndak inget pernah ngeriting rambut pakai catok. Mala juga ndak pernah potong rambut. Seinget Mala, ke-kemarin rambutnya masih sepinggang. Lha kok ini sudah tinggal selengan," aku bergumam bingung.
Sakitnya tuh di sini, di dalam hatiku ...
Sakitnya tuh di sini, melihat kau selingkuh ...
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTER EGO (TAMAT)
Genel KurguTuhan sangat ndak adil. Aku sudah kehilangan segalanya. Kebahagiaan, hidup tenteram, mahkota yang paling berharga, bahtera rumah tangga bahkan buah hatiku tercinta. Aku benci hidup ini. Benar-benar benci. Aku berada dalam dasar terbawah dari rotasi...