Tahun 2011
"Nasi kucingnya tiga, es teh krampul satu, kopi joz satu, sate usus tiga, tempe bacem dua sama apollo cokelat empat."
Aku mengetik pesanan dan menjumlahkannya. "Se-semuanya tigapuluh empat ribu, Mbak."
Aku menghitung kembali uang yang diberikan pelanggan. Lalu memasukkan uang ke mesin kasir, dan menyerahkan kembaliannya. Tidak lupa mengucapkan, "Te-terima kasih."
Sudah setahun lebih aku bekerja di sebuah kafedangan sebagai kasir. Kafedangan itu semacam kafe dengan konsep wedangan, atau malah wedangan konsep kafe, ya? Yah, intinya begitulah.
Wedangan kalau di Solo namanya hek, tempatnya remang-remang di gerobak kecil. Yang dijual nasi kucing, bermacam-macam sate, gorengan, bacem. Minumannya pun semacam teh krampul, jahe gepuk, kopi joz, wedang ronde. Pembeli biasanya duduk di tikar atau kursi depan gerobak.
Namun, di Jogja sedikit berbeda, di sini persis seperti kafe. Bahkan aku pernah melihat ada hiburan live music-nya. Walau tempatnya modern, tapi yang dijual menu khas wedangan. Kalau orang bilang 'tempat bintang lima, harga kaki lima'. Biasanya kafedangan dijadikan tempat nongkrong mahasiswa-mahasiswi. Selain tempatnya nyaman, harganya pun ramah di kantong.
Di warung kami yang jadi maskot adalah kopi joz dan apollo coklat. Kadang banyak pelanggan yang belum tahu apa itu kopi joz, sehingga kami seringkali menjelaskan kepada mereka. Sebenarnya kopi joz itu sama seperti kopi hitam biasa, yang membuat unik adalah dengan dicemplungkannya secuil bara api ke dalam segelas kopi panas, sehingga bersuara 'jozzz'. Sedangkan apollo adalah jadah isi coklat, dan sebelum disajikan akan dibakar terlebih dahulu.
Awalnya aku juga tidak tahu ada tempat seperti ini di Jogja. Kebetulan waktu itu aku baru mencari pekerjaan, karena Bunda terus-terusan memaksaku untuk bekerja. Beliau juga sering menyindirku sebagai benalu.
Nah, Bu Atik—pemilik warung makan yang sering kukunjungi—bilang kalau keponakannya baru keluar dari tempat kerjanya. Mungkin posisinya belum terisi, jadi aku disuruh melamar kerja ke sini.
Untung Bu Claris—pemilik tempat ini—orangnya baik. Dia tidak mempermasalahkan diriku yang hanya lulusan SMA. Katanya yang penting jujur dan bisa dipercaya.
Pertama kerja bahkan sampai sekarang pun aku masih gugup dan takut kalau harus melayani gerombolan pemuda. Terkadang ada beberapa yang jahil dan suka merayu. Bukannya senang, tapi aku malah takut.
Entahlah, mungkin ada yang salah dengan kejiwaanku. Aku merasa berbeda dari gadis pada umumnya. Seperti misalnya, gadis di depanku yang dengan percaya diri dan terlihat nyaman bergandengan tangan dengan seorang cowok. Duduk bersebelahan. Guyonan, ketawa-ketiwi. Terlihar begitu menikmati kebersamaan mereka.
Sedangkan aku? Berkenalan dengan cowok saja sudah membuatku lari ketakutan. Sebenarnya aku juga ingin seperti mereka. Namun, berkali-kali kucoba tetap saja gagal. Aku tidak bisa bergaul dengan laki-laki. Selalu ada was-was dan ketidaknyamanan dari dalam diriku.
"Idiiih ... Mala ngelamunin apa? Pamali, lho, Magrib begini bengong. Bisa kesambet setan lewat," ujar Mbak Leli, salah satu pramusaji.
Aku tersenyum mendengar gurauannya. "Ma-mala sudah sering kerasukan, Mbak."
"Iiih, ini anak dikasih tahu malah bercanda," katanya lagi.
"Bu–bukan begitu, Mbak. Be-beneran Mala sering kerasukan," bantahku.
"Aku rela, ikhlas Lillahi Ta'ala kalo kerasukan setan model Rain utowo mas ganteng Leonardo Dikaprio," tukas Mbak Eka dari dalam dapur.

KAMU SEDANG MEMBACA
ALTER EGO (TAMAT)
General FictionTuhan sangat ndak adil. Aku sudah kehilangan segalanya. Kebahagiaan, hidup tenteram, mahkota yang paling berharga, bahtera rumah tangga bahkan buah hatiku tercinta. Aku benci hidup ini. Benar-benar benci. Aku berada dalam dasar terbawah dari rotasi...