Tahun 2015
"Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi, awan akan menyelimuti Jogjakarta pagi ini. Bahkan untuk Bantul, Sleman dan Jogja Kota diperkirakan akan diselimuti awan tebal."
Aku memutar tombol volume radio, mempertajam indra pendengaran demi mendapat info prakiraan cuaca dari Dennis–penyiar favorit keluarga kecil kami. Radio? Di jaman serba canggih, bahkan orang bilang dunia ada di ujung jari pun aku masih setia dengan radio? Bagiku mendengarkan radio lebih praktis dibanding harus melihat TV atau mengintip sosmed. Aku masih bisa melakukan pekerjaan rumah tanpa merasa sepi. Tidak. Aku tidak suka keramaian, tapi lebih membenci keheningan. Seolah pikiran ini dapat melayang entah kemana, seolah ada sosok asing yang membayang di ingatan.
"Dennis bilang apa, Ma? Hari Senin ceria ya?" Aku menoleh.
Seulas senyum kuberikan pada Mas Bumi–pria yang kini tengah memeluk pinggangku dari belakang.
"Ng ... ha-hari ini mendung, Pa. Mung-mungkin mau hujan deras. Ng ... nanti tugas lapangan ndak, Pa?" Aku menghentikan aktivitas mencincang daging demi menyelamatkan jariku dari resiko teriris pisau, saat Mas Bumi mulai menyurukkan wajah di ceruk leherku. Menyingkirkan rambut panjangku yang menutupi bahu.
Sepertinya Mas Bumi sengaja menggoda imanku—dengan lembut bibirnya berlabuh di satu titik belakang telingaku—satu hal yang selalu bisa membuat desahan lembut lolos dari bibirku. "Mendung tak berarti hujan, kan?" desisnya sembari terus memelukku.
"Paaah ... tolong," desahku lirih.
Mas Bumi terkekeh saat berkata, "Tolong lanjutkan atau tolong jangan berhenti?"
Aku mencubit kecil lengannya. Membuat pria itu semakin terkekeh.
"Mama, pagi-pagi 'gini sudah cantik," godanya.
Aku memberengut. Cantik apanya? Aku belum mandi, masih pakai daster. Tangan bau amis. Dibilang cantik? Gombal.
"Apalagi kalau cemberut gitu. Paling cantik sedunia, deh. Nggak peduli bangun tidur, belum mandi. Buat Papa, cantik."
Mau tak mau aku pun tersenyum mendengar rayuannya. "Gombal."
Mas Bumi, suamiku ini memang tidak sungkan untuk mengungkapkan rasa sayangnya. Dia begitu memanjakanku. Dia lah yang sedikit demi sedikit mampu mengubah diriku.
Sedari kecil, aku hanya tahu bahwa semua makhluk berjenis kelamin laki-laki itu hanya sampah masyarakat. Maaf, bukan bermaksud kasar. Namun, itulah kenyataan yang aku hadapi. Hanya Bumi Bayu Aji, pria yang setahun lalu telah mengucap janji setia di hadapan Tuhan. Menjadi imam dalam bahtera rumah tangga kami. Dialah yang mampu membuatku merasa benar-benar dihormati, dihargai dan diperlakukan seperti layaknya wanita.
Padahal selisih umur kami hanya empat tahun. Namun, di usianya yang ke-32 tahun ini, dia terlihat sangat dewasa dan bijak. Kesabarannya dalam menghadapi tingkahku, patut diacungi jempol.
"Maaa, Iyak mok pispis." Satria, bocah tiga tahun berpipi tembam itu masuk ke dapur sambil mengucek-ucek mata.
Aku terkekeh menengok muka cemberut Mas Bumi, tapi tetap tampan. "Yaaah ... satpamnya udah bangun," godanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ALTER EGO (TAMAT)
General FictionTuhan sangat ndak adil. Aku sudah kehilangan segalanya. Kebahagiaan, hidup tenteram, mahkota yang paling berharga, bahtera rumah tangga bahkan buah hatiku tercinta. Aku benci hidup ini. Benar-benar benci. Aku berada dalam dasar terbawah dari rotasi...