Tahun 2012
"Se-setrip dua?" Aku tidak percaya dengan apa yang tertera pada benda pipih sepanjang jari telunjuk dalam genggamanku. "Pas-pasti ada yang salah. Bi-bisa saja alatnya rusak, kan?"
Tanganku bergetar, hingga benda kecil itu terjatuh ke lantai kamar mandi. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana ini? Tubuhku merosot, kedua kaki ini tak dapat lagi menjadi tumpuan.
Aku hamil? Tidak mungkin! Kupegang perut yang masih rata. Berusaha mencari perubahan di sana, tapi belum kutemukan sedikit pun tanda kehidupan dalam rahimku.
Apa benar, aku akan menjadi ibu?
Ya, Tuhan, apa lagi ini? Kenapa aku bisa hamil? Bagaimana kalau Mas Adira sampai tahu?
"Mala! Kumala! Ngapain kamu lama banget di kamar mandi? Tidur?!"
Aku bergegas keluar dari kamar mandi. Mencari asal suara yang berasal dari ruang keluarga.
"Ngapain aja kamu? Mana kopi sama sarapanku?" Mas Adira terlihat masih mengantuk, duduk di sofa dengan menaikkan kedua kaki ke meja kaca.
Aku menjawab dengan tergagap, "Ma-maaf, Mas. Itu, anu ... ta-tadi Mala sakit perut."
Mas Adira mendorong meja dengan kakinya. "Halah ... alasan! Kamu sudah bosan tinggal di sini, hah!" bentaknya.
Aku menunduk menyembunyikan tetesan air mata. Mas Adira paling tidak suka melihatku menangis, membuatnya semakin marah.
"Kamu nangis lagi? Dasar cewek cengeng! Dikit-dikit nangis. Sepet mataku ngelihat kamu!" dampratnya. "Sekarang kamu mau nangis di situ atau bikinin aku kopi? Apa perlu aku pukul lagi?!"
"Ma-maaf, Mas. Ma-mala buatkan sekarang." Dengan terburu-buru aku menuju dapur untuk menyeduh kopi dan membuat sarapan. Jangan sampai Mas Adira lebih marah lagi.
Rasa sakit akibat sabetan ikat pinggang dua hari lalu, masih terasa. Bilur-bilur merah masih tercetak jelas di punggung. Aku tidak pernah menduga Mas Adira berubah. Bukan seperti dirinya yang kukenal.
Sampai sekarang, masih terngiang betapa mantapnya Mas Adira saat melamarku kepada Bunda. Hingga awal tahun ini–dua bulan lalu–saat Mas Adira mengucapkan Ijab Qabul pun masih terasa keseriusannya.
Tangis haru dan bahagia serta harapan akan kehidupan tenteram dan damai berubah menjadi tangisan sedih. Dengan drastis, sikap Mas Adira berubah setelah malam pertama kami yang gagal.
Aku tidak pernah mengira bahwa peristiwa pemerkosaan yang kualami, ternyata masih membekas dalam ingatanku. Saat Mas Adira mulai menyentuhku, entah apa yang terjadi, tapi aku secara refleks mendorongnya. Tubuhku menolak setiap sentuhan walau Mas Adira melakukannya selembut mungkin. Hingga akhirnya kejujuran ku ungkapkan di saat yang tak tepat.
Memang kuakui aku salah, karena tak pernah secara gamblang menjelaskan tentang pemerkosaan yang pernah kualami. Aku pikir Mas Adira bukanlah orang yang begitu mementingkan arti selembar selaput dara. Aku pikir cinta Mas Adira padaku cukup besar untuk membuatnya mencintaiku apa adanya. Namun ternyata aku salah.
Seharusnya dari awal aku harus jujur. Seharusnya aku terbuka. Tetapi aku takut. Aku takut Mas Adira pergi. Aku takut kehilangan kesempatan untuk bahagia. Aku takut terluka.
Lagi-lagi aku salah. Sampai kapan pun aku tak akan melupakan sorot matanya yang tampak teramat jijik saat menatapku. Seolah aku ini seonggok bangkai tikus di pinggir jalan. Apa salahku? Aku diperkosa. Kesucianmu direnggut secara paksa oleh ayah tiriku. Namun, tatapan Mas Adira menyiratkan bahwa aku ini wanita kotor.
Malam itu Mas Adira meninggalkanku seorang diri di kamar pengantin kami. Membiarkanku menghabiskan malam dengan isak tangis.
Kupikir sikap Mas Adira akan berubah seiring terkikisnya kekecewaan Mas Adira kepadaku. Kupikir dia bisa menerima dan memaafkanku. Kupikir dia bisa memahami bahwa aku hanyalah korban.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTER EGO (TAMAT)
Ficción GeneralTuhan sangat ndak adil. Aku sudah kehilangan segalanya. Kebahagiaan, hidup tenteram, mahkota yang paling berharga, bahtera rumah tangga bahkan buah hatiku tercinta. Aku benci hidup ini. Benar-benar benci. Aku berada dalam dasar terbawah dari rotasi...