Tahun 2010
"Na, ayo cepet! Kita bisa telat masuk kelas." Dasar siput, lelet banget. Aku berjalan cepat, lima meter di depannya.
Napas Kirana sudah terdengar ngos-ngosan. Kasihan juga sih, tapi mau gimana lagi. Kami sudah telat masuk kelas.
"Hah haaah ... bhentar, Nhesh. Akuh ... nggakh khuat." Dengan susah payah Kirana menyamai langkahku menuju kelas.
Aku nggak mau kalau harus dihukum Miss Valent, gara-gara si gembul ini. Cukup Minggu kemarin, aku harus pidato di depan kelas. Kalau pakai bahasa indonesia sih mending, lha ini bahasa inggris. Memang sih, ini cuma tempat kursus bahasa inggris, tapi tutornya galak-galak. Peraturannya ketat. Dan buatku–yang lebih terbiasa dengan kromo inggil–dihadapkan pada bahasa inggris, susahnya minta ampun.
Aku sih ikut kursus ini cuma demi mengisi waktu luang. Mami kalau siang kerja. Kalau cuma di rumah, rasa-rasanya aku bakal cepet bosen. Sedangkan aku nggak mungkin kuliah. Makanya, kuputuskan mendaftar di sini. Sedangkan Kirana, tahun ini dia nggak lolos ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri. Jadi, dia mengambil kursus sambil menunggu ujian tahun depan.
Enam bulan lalu, kami–aku dan Mami–pindah ke Jogja. Ya, hanya berdua, karena Mami sudah bercerai dengan Papi bertahun-tahun lalu. Semua demi dia, belahan jiwaku. Aku harus meninggalkan Solo. Meninggalkan sanggar Candrakirana. Meninggalkan teman-teman yang sangat kusayangi. Meninggalkan kehidupanku.
Semua demi dia. It's okay. Aku nggak berhak untuk protes. Lagipula, aku yakin bisa cepat beradaptasi dengan lingkungan baru. Malahan membuatku lebih leluasa, karena di sini tidak ada yang mengenalku. Aku bisa menjadi diriku sendiri.
Setelah bertahun-tahun, saat yang kunantikan pun tiba. Saat di mana aku bisa mengatakan namaku 'Vanessa Putri'. Di mana orang-orang memanggilku Vanessa. Bukan lagi hanya 'Putri'.
Untungnya tempat kursus ini sangat fleksibel, syarat pendaftarannya tidak perlu memakai akte lahir atau ijazah terakhir. Cukup kutulis Vanessa Kumala Putri, dan tanda tangan Mami yang kupalsukan.
Aku sadar perbuatanku melanggar hukum positif, tapi aku kan nggak mau terus-terusan berada di belakang bayang-bayang Kumala. Aku ingin punya kehidupan sendiri, walau itu berarti kami harus saling berbagi tubuh dan waktu. Aku keluar di siang hari, dan Kumala malam hari–aku yang membaginya. Adil 'kan.
Semoga kita betah tinggal di sini.
Hanya itu harapanku. Aku dan dia bisa memulai hidup baru. Syukur-syukur kalau dia mulai menyadari diriku, sehingga kami bisa hidup bersama. Namun sejauh ini, belum ada tanda dia sadar. Biarlah, yang penting dia senang dan nyaman.
Tentu saja dia harus gembira. Awas saja kalau masih menyia-nyiakan pengorbananku. Dia yang meminta kita untuk pindah. Aku ngerti sih, sangat sulit untuk terus bertahan di Solo. Dan di sinilah kami sekarang, membuka lembaran baru.
"Ayo, Kirana. Sebentar lagi sampai kelas, jangan malah jongkok di sana!" Aku membalikkan tubuh melihat Kirana megap-megap.
"Kamuh duhluhan ajah ... akuh nggah khuaaat."
Alamaaak, bakal kena hukum lagi dah. Aku memutar langkah menuju Kirana, ikut jongkok di sampingnya. "Nih, minum dulu."
"Kamu nggak masuk kelas, Nes?" tanyanya setelah menenggak air minum yang kuberi tadi.
"Dan ninggalin gajah duduk ini sendirian?"
"Iiih, Nessa. Aku jadi makin cinta deh," ucapnya sambil memelukku.
Heddeeeh, gimana aku bisa punya pacar kalau kelakuan Kirana macem ini, yang ada aku dikira lesbong.
"Woi, lepasin! Nggak usah pake peluk kali, Na." Aku melepaskan diri dari ke'lebay'an gadis ini. "Ayo ke kelas."
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTER EGO (TAMAT)
General FictionTuhan sangat ndak adil. Aku sudah kehilangan segalanya. Kebahagiaan, hidup tenteram, mahkota yang paling berharga, bahtera rumah tangga bahkan buah hatiku tercinta. Aku benci hidup ini. Benar-benar benci. Aku berada dalam dasar terbawah dari rotasi...