PART 29

680 65 27
                                    

Isak tangis mereka masih mendominasi suara di ruangan ini. Aku berbalik dari hadapan cermin demi menatap mereka satu persatu. Mataku masih terasa basah, napasku pun belum teratur.

Mami menangkupkan kedua tangan ke wajahnya. Kirana menangis dalam pelukan Bryan, aku terkekeh dalam hati, seandainya mereka saling suka pasti bakal jadi keren. Bumi membungkuk sambil mengelus-elus pundak Mami. Kulihat dia berbisik sesuatu pada Mami, tapi aku nggak bisa dengar.

Mungkin mereka belum pulih dari shock setelah perkataan Kumala baru saja. Ya, akhirnya Kumala setuju untuk membunuhku. Astaga! Bahasaku parah.

"Udah, dong, Mi. Jangan nangis lagi," bujukku seraya berjongkok di depannya.

Mami terlihat terkejut mendengar suaraku. Dalam sekejap, aku sudah berada dalam pelukannya. Mami mendekapku erat-sedikit membuatku sesak napas-tapi aku nggak keberatan. Aku malah senang. Kubalas pelukan Mami.

Memang, Mami bukan wanita yang melahirkanku, tapi bagiku dia tetap seorang ibu. Terlebih setelah sikapnya padaku dan Kumala berubah, aku semakin menyayanginya. Mami sebenarnya sama seperti Kumala. Beliau kurang kasih sayang dan perhatian, Mami juga punya pengalaman buruk terhadap laki-laki. Namun, dengan kehadiran Bumi di antara mereka, aku yakin pandangan buruk mereka terhadap semua kaum Adam akan terkikis.

"Mi, jangan nangis. Aku jadi ikutan sedih," ucapku manja.

"Kamu sudah tidak sayang sama Bunda lagi, Nessa?" tuduhnya padaku.

Aku menjauhkan tubuh kami, kupegang kedua bahunya. "Mami, sampai kapan pun aku selalu sayang sama Mami," ucapku sambil menatap lurus ke manik matanya.

Aku ingin Mami tahu, aku nggak bohong terhadap perasaanku kepadanya. Kupegang kedua lengan Mami lalu kuajak Mami untuk duduk lagi di kursi. Kaki tua Mami nggak mungkin kuat untuk jongkok lama-lama. Aku saja sudah mulai kesemutan, apalagi Mami, bisa kram.

"Kalau kamu sayang, kenapa minta hal seperti itu ke Kumala? Apa kamu kecewa sama sikap Bunda? Selama bertahun-tahun, kamu sudah menjadi anak Bunda, apa kamu tega meninggalkan Bunda?"

"Mami, aku nggak pernah marah atau kecewa sama Mami. Aku juga berat untuk pergi meninggalkan Mami, tapi ... aku harus. Mami masih bisa terus mengingatku 'kan? Aku nggak ke mana-mana, Mi. Aku selalu ada di sini, di hati Mami." Aku menunjuk dada Mami.

"Bunda sayang sama kamu, Ness. Kamu yang pertama kali menyadarkan Bunda bahwa sikap Bunda salah. Kamu yang mengajari Bunda tentang bagaimana mencintai setelah Bunda tidak percaya lagi pada cinta. Kamu juga yang mengajari Bunda tentang bagaimana caranya merawat cinta. Tapi, kenapa kamu malah memutus cintamu ke Bunda?"

Aku nggak bisa nahan air mataku lagi. "Tolong, Mi. Jangan buat aku jadi merasa bersalah. Aku ... aku nggak bisa pergi kalau Mami seperti ini. Mami 'kan sudah dengar penjelasan dari Bu Laksmi." Aku mengusap air mata yang jatuh di Pipi Mami. "Mami juga dengar penjelasanku ke Kumala. Ini jalan terbaik bagi kami, Mi. Kumala sudah setuju untuk melepasku. Jadi, aku harap Mami juga."

Ganti Mami yang mengusap pipiku. Padahal aku sudah berjanji untuk nggak nangis, tapi ternyata sulit banget. Berkali-kali kugigit bibir bawahku, aku nggak mau sampai nangis histeris. Namun, rasa sesak di dada dan tenggorokanku semakin mengganggu.

"Kalau memang ... kalau itu keinginanmu-" ucapan Mami terhenti karena tangisnya yang semakin kencang. "Mami ikhlas .... Mami izinkan kamu pergi."

Mendengar kata-kata Mami tak urung membuat tangisku meledak. Aku bersimpuh di kaki Mami, menyurukkan wajahku di kedua lututnya, menumpahkan segala sesak di hatiku. Aku lega sekaligus takut.

"Maafkan aku, Mi. Maaf kalau ... kalau aku salah. Maaf karena aku belum bisa membahagiakan Mami. Maaf, aku terpaksa pergi." Tangisku benar-benar tak bisa berhenti.

ALTER EGO (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang