PART 8

973 95 63
                                    

Tahun 2013

"Mala, susunya Satria habis. Jangan lupa pulang kerja, kamu beli dulu," pesan Bunda, saat aku bersiap berangkat ke kantor.

"I-iya, Bund. A-apa ada yang Bunda butuhkan lagi? Na-nanti sekalian Mala belikan," aku bertanya sembari mencium kening Satria yang tengah tertidur pulas di bouncher-nya.

"Nggak ada. Semua masih." Aku melirik Bunda. Sejak perceraianku dengan Mas Adira, sikap Bunda sedikit berubah.

Setahun lalu–setelah aku keluar dari rumah Mas Adira–aku kembali lagi ke sini. Rumah Bunda. Awalnya Bunda terkejut melihatku, pagi-pagi sudah berdiri di depan pintu. Pernikahanku pun masih seumur jagung, baru dua bulan. Namun, sudah harus berada di ujung tanduk.

Terus terang, aku takut untuk pulang. Tetapi, ke mana lagi aku harus pergi? Hanya Bunda yang kumiliki. Tak pernah sekali pun Bunda bertanya tentang alasanku meninggalkan rumah Mas Adira. Bunda menunggu hingga aku siap untuk bercerita.

Mungkin Bunda tidak seperti ibu pada umumnya. Bunda seolah tak menyayangiku. Bahkan Bunda menyalahkanku saat ayah menceraikannya. Bunda pun memojokkanku saat Kusnandar memporakporandalan hidupku. Namun, entah mengapa Bunda bisa berubah drastis. Aku tidak mengerti apa alasannya.

Di saat seperti ini, Bundalah yang sangat mengerti kondisiku. Bahkan di saat aku menceritakan semua yang terjadi dan tentang kehamilanku, Bunda hanya berkata bahwa aku harus kuat demi janin yang sedang kukandung.

Bunda tidak menyalahkanku. Bunda tidak menyudutkanku seperti biasa. Bunda memang tidak menangis, tidak memeluk, tidak mengatakan kalimat penghiburan. Bunda hanya diam.

Namun, Bunda jugalah yang memaki Mas Adira di ruang sidang. Bundalah yang menampar lelaki itu di depan seluruh anggota sidang. Bunda yang menuntut Mas Adira untuk menandatangani surat perjanjian yang berisi tentang tunjangan dan harta gono gini.

Mas Adira tentu saja menolak mentah-mentah, tapi bukan Bunda namanya kalau kalah debat. Bunda mendesak Bu Puji, agar putranya menyetujui syarat perceraian. Bundalah yang memperjuangkan hak-hakku, di saat aku sama sekali tidak bisa berpikir jernih.

Mas Adira menolak apa pun syarat yang Bunda ajukan. Dia masih menekanku agar menggugurkan kandungan. Hampir saja aku menuruti perintahnya. Aku benar-benar seperti boneka, hanya tubuh tanpa jiwa. Bagaimana mungkin aku membesarkan anak seorang diri? Aku takut akan masa depannya.

Hingga akhirnya Bunda mengancam akan melaporkan perbuatan Mas Adira ke polisi, barulah dia bersedia menandatangani surat perjanjian, walau dengan terpaksa.

Kondisiku saat itu sangat memprihatinkan. Bobot tubuhku menurun, padahal aku sedang hamil. Tidak ada nafsu makan, tidak ada semangat hidup. Berkali-kali aku berniat mengakhiri hidup. Sering kali aku sengaja melakukan hal yang membahayakan kandunganku. Hanya meratapi nasib, menangis, mengutuk kaum pria. Menuntut keadilan pada Tuhan atas segala hal yang terjadi pada diriku.

Puncaknya adalah hari itu. Hari di mana aku menjadi seorang janda. Aku menyayat nadi di pergelangan tangan kiriku. Berniat mengakhiri segala penderitaan dalam hidupku. Namun, percobaan bunuh diriku gagal. Bunda yang menemukanku di dalam kamar mandi, segera membawaku ke rumah sakit.

Lagi-lagi Bunda yang menyadarkanku. Sekali lagi, tidak ada kelembutan maupun pelukan. Bunda menampar keras pipiku. Ucapan Bunda lebih menampar diriku, yang hingga kini masih terngiang.

ALTER EGO (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang