Tahun 2017
Sebel! Sudah tahu aku nggak doyan daun bawang, masih saja lupa. Baunya bikin eneg. Rasanya juga nggak enak. Bikin nafsu makanku menguap saja. Padahal mie ayamnya Cak Min kan kesukaanku banget.
"Kenapa manyun 'gitu? Jelek tau," protes Kirana sembari melahap baksonya.
"Nih, lihat, dikasih daun bawang," gerutuku sambil menyorongkan mangkuk ke arah Kirana.
"Cak Min kelupaan kali. Lagian kenapa, sih, kamu nggak doyan daun bawang? Enak tau. Nih, lihat." Kirana memasukkan sesendok penuh daun bawang mentah ke mulutnya. Lalu mengunyahnya dengan lahap.
Aku bergidik ngeri, tidak bisa membayangkan kalau harus dipaksa makan itu daun. "Bisa-bisanya kamu makan daun bawang mentah, Na. Rasanya 'kan nggak enak."
Kirana yang makan, tapi aku yang merasa mual. Segelas es jeruk nipis langsung kutenggak habis. Seiris kecil saja rasanya kayak 'gitu, gimana kalau sesendok. Hueeekkk!
Kirana melihatku dengan tatapan aneh. "Haus apa doyan, Cyiiin?"
"Gara-gara kamu juga, nih. Ih, aku ngebayangin makan tuh ijo-ijo jadi mual," protesku seraya menepuk pelan perut yang masih terasa nggak enak.
Kirana melanjutkan makannya lagi, dengan mulut penuh bakso panas dia mencoba bicara. "Hangan-hangan hahu hahil ... haaah, hanah!" gumamannya sama sekali tak dapat kupahami.
"Heh, telen dulu tuh bakso. Jorok banget jadi cewek. Pantesan, mpe sekarang masih jones."
"Apa hubungannya coba? Denger ya , Vanessa Putri, jangan sok amnesia, deh. Kamu juga jones," balasnya ketus setelah berhasil menelan isi mulutnya.
"Eit, tapi aku kan nggak ngenes-ngenes banget. Masih bisa eksis gitu lhoh. Btw, tadi kamu mau ngomong apaan?"
"Nggak penting. Itu mie ayam beneran kamu anggurin?"
"Iya lah. Udah kecampur sama aroma daun bawang."
"Buat aku aja ya kalau gitu." Tanpa mendengar jawabanku, Kirana mengambil alih kepemilikan mangkuk mie ayam. Menodai kesuciannya dengan empat sendok sambel dan kecap.
"Inget diet, Na ... udah habis mie ayam bakso, sekarang nambah mie ayamku? Tuh badan balik jadi bola basket lagi, lho. Trus itu sambel jangan banyak-banyak, mules baru tau rasa," cetusku asal.
"Biarin. Pamali ngebuang makanan. Dosa besar. Lagian, mie ayam nggak pedes mana enak, Cyin."
Melihat cara makan Kirana membuatku menelan ludah. Nih cewek makan apa pun kelihatan enak banget. Jadi laper.
"Pesen lagi sono, gih. Timbang laper. Habis ini kita masih harus muter lagi nyari pemasok kain batik lhoh."
Aku menimbang sejenak. "Enggak, ah. Perutku masih eneg. Ntar nyari ganjel di jalan aja."
"Beneran?" tanyanya lagi, memastikan pilihanku.
"Iya, cerewet. Dah, selesain makannya. Aku ke belakang dulu. Eh, kamu yang bayar semua lho, Na." Aku menunjuk seluruh mangkuk dan gelas di atas meja.
"Idih, yang pesen siapa, yang bayar siapa. Ogah."
"Aku yang pesen, tapi kamu yang makan, Jones!" semburku sembari berjalan menuju toilet.
Beginilah hubunganku dengan Kirana. Lebih sering cek-cok timbang akur. Banyak adu argumentasi. Saling hujat. Nggak sedikit yang merasa aneh dengan bentuk persahabatan kami, tapi nyatanya kami bersama sudah lebih dari delapan tahun. Kalau kami nikah, sudah punya anak SD ini.
Aku masih ingat pertama kali ketemu dengan Kirana. Dia baru mungutin bukunya yang berserakan di halaman tempat kursus. Ceritanya, Kirana telat masuk kelas. Karena terburu-buru, nggak sengaja dia nabrak orang, jatuh semua deh bukunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTER EGO (TAMAT)
Narrativa generaleTuhan sangat ndak adil. Aku sudah kehilangan segalanya. Kebahagiaan, hidup tenteram, mahkota yang paling berharga, bahtera rumah tangga bahkan buah hatiku tercinta. Aku benci hidup ini. Benar-benar benci. Aku berada dalam dasar terbawah dari rotasi...