PART 27

518 71 52
                                    

Air mataku masih saja tak berhenti berderai sejak aku siuman tiga jam lalu. Saat ini aku sudah berada di dalam kamar. Duduk meringkuk di atas tempat tidur, memandangi foto Satria. Kubelai wajahnya yang sedang tersenyum menghadap kamera. Pipinya yang tembam, rambutnya yang lebat, bibir mungilnya yang dulu tak hentinya mengoceh.

Oh Tuhan ... aku masih tidak percaya, sudah dua tahun lebih dia pergi meninggalkanku, tapi aku sama sekali tidak mengingatnya.

Kenapa Engkau tega mengambilnya dariku?

"Maafkan Mama, Nak. Seharusnya, Mama yang mati, bukan kamu .... Satria. Mama kangen, Sayang. Kenapa kamu tega meninggalkan Mama sendirian? Mama kangen ...." Tangisku kembali pecah.

Kupeluk foto Satria erat, seolah aku sedang memeluknya. Berkali-kali kuteriakkan namanya dalam tangis. Berharap ada sedikit keajaiban sehingga aku bisa memeluknya lagi.

Aku mau Kau mengembalikannya padaku, Tuhan!

Kenapa Engkau begitu membenciku?

Apa salahku pada-Mu?

Segalanya telah Kau ambil! Kasih sayang keluargaku, kesucianku, rumah tanggaku .... Dan kini, Kau juga mengambil Satria.

Kau benar-benar pilih kasih!

Kenapa harus Satria? Kenapa bukan aku yang Kau ambil?

Apa Kau takut menghadapiku? Ambillah jiwaku, hadapilah aku!
Aku sama sekali tidak takut!

Aku tahu, kali ini aku sudah keterlaluan. Berani-beraninya aku menghujat Tuhan, pemilik seluruh alam semesta. Sang pemberi dan pengambil kehidupan.

Bagaimana caraku hidup setelah ini? Satria adalah napasku, karenanya jantungku masih berdetak. Bagiku, dia adalah oase di padang pasir. Memberiku kesegaran di tengah keringnya kasih sayang. Satria adalah segalanya.

Apa salahku, hingga tak sedikit pun aku diberi kesempatan untuk bahagia? Aku marah, tapi tak tahu pada siapa. Aku sedih. Aku benci. Aku kecewa. Apa hanya itu perasaan yang ada padaku?

Rasa-rasanya baru kemarin, aku melahirkan Satria. Dia begitu mungil, membuatku takut untuk menyentuhnya. Namun, sekarang aku tak lagi dapat menggenggam jemari kecilnya. Tak dapat mengecup pipinya. Tak dapat menggendong tubuhnya. Aku gagal sebagai seorang ibu! Aku gagal!

Sesak sekali. Nyeri yang teramat sangat kurasakan di dalam dadaku. Dengan berteriak pun sakit itu belum reda. Kepalaku serasa mau pecah. Aku tidak kuat lagi menghadapi semua ini.

Aku berdiri dengan cepat menuju meja rias. Kulemparkan semua barang yang ada di atas meja. Kupecahkan cermin rias dengan tinjuku. Aku hancur. Jiwaku remuk.

"Kumala!" Kudengar pekikan Bunda di ambang pintu.

Bunda merengkuhku dalam pelukannya, membiarkanku menangis histeris. Memegangiku erat, menjadi tumpuan agar aku tak terjatuh.

"Se-semua salah Mala, Bunda. Gara-gara Mala, Satria meninggal. Mala tidak pantas hidup lagi, Bunda!" teriakku histeris.

Bunda tak lagi dapat menopang tubuhku, aku merosot. Namun, kurasakan sepasang tangan meraih tubuhku hingga tidak terhempas ke lantai.

ALTER EGO (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang