Part 25. Last Meet

573 43 0
                                    

"Gue masih gak percaya lo bisa kawin sama Luke," kata Emma sambil memasukan coklat kedalam mulutnya.

Fe, Emma, Iren kembali berkumpul di tempat makan langganannya saat SMA, sekedar reunian kecil-kecilan sekaligus memberikan undangan pernikahannya dengan Luke.

Mereka berdua masih sama saat SMA dulu, hanya penampilannya yang terlihat berubah. Emma yang sedikit galak tapi baik dan Iren masih dengan otak lemotnya tapi kadang pinter.

"Terus kabar om-om pedo itu gimana denger lo kawin? Mending dia sama gue aja,"

Fe memutar kedua bola matanya malas menanggapi ocehan Iren, sedangkan Emma yang tidak pernah sabar akan sikap Iren langsung menoyor kepalanya.

"Emang ya kalo kita mau bersama selama apapun kalo bukan jodoh ya mau gimana lagi,"

"Jadi gue gak jodoh sama Daniel gitu?" Kata Fe dengan tangan yang menumpu dagunya.

Terdengar Emma mendesah pelan dan saling melempar pandang dengan Iren, "Bukan gitu Fe, apa yang di pertemukan belum pasti harus bersama. Siapa tau Tuhan cuma ngasih takdir lo sama Daniel itu cuma sebagai teman, gak lebih. Kalo lo mau protes juga gak bakal bisa itu emang udah takdir lo kawin sama Luke, percaya deh lama-lama lo bakal ngelupain Daniel dan mulai suka sama Luke."

"Cinta sama seseorang, ngelupain seseorang, semuanya butuh proses. Tapi kadang ada yang mudah mencintai sulit melupakan." Iren langsung bertepuk tangan mendengar ucapan Emma, Emma Teguh.

"Lo ngelupain seseorang karena adanya kehadiran orang lain justru lebih gampang," sambungnya lagi.

Fe terdiam sejenak menjadikan undangan pernikahannya dengan Luke sebagai kipas, "Gampang karena dia sama-sama mau move on terus sama-sama suka, lah kan kalo gue enggak. Gue malah benci sama dia, gue sama dia juga sama-sama udah punya pacar."

"Punya pacar? Lo mau tetep pacaran sama Daniel setelah nikah sama Luke? Daniel udah ngomong kayak gitu seakan-akan dia pengen lo ngejauh, dia gak mau hadir sebagai perusak di hari bahagia elo. Dia bukan tipe orang yang merebut apa yang bukan miliknya." Emma mencubit pelan pipi Fe, "Mungkin lo butuh waktu sendiri untuk mikirin omongan gue, jangan salah pilih Fe pikirin untuk kedepannya." Emma menarik tangan Iren.

"Lo mau gue temenin gak?" Tanya Iren.

"Yang ada dia tambah setres kalo lo yang nemenin,"

Fe tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah mereka berdua yang pamit pulang lebih dulu.

'Lo harus ngelupain Daniel dan belajar suka sama Luke,'

Kalimat yang begitu ia benci. Bagaimana bisa ia menyukai cowok tengil seperti Luke? Cowok yang terkenal dengan badboy waktu masa SMA dulu kini akan menjadi suaminya.

Tangannya meraih undangan yang ditujukan untuk Daniel dan bergegas pergi menuju kantor yang 'dulu' pernah ia kunjungi saat masih SMA.

Mulutnya tidak berhenti komat-kamit mengucapkan segala permohonan agar Daniel masih bisa menerimanya tanpa embel-embel harus jaga jarak karena dirinya yang akan menjadi istri seorang Aldric.

Jalanan yang renggang membuat perjalanannya menuju kantor Daniel sedikit lebih cepat dimana sekarang kakinya sudah berdiri tepat di gedung yang menjulang tinggi ke atas dengan nama 'Alfaro' terpampang jelas di depan gedung tersebut.

Tidak ada harapan lagi dirinya yang akan di sebut dengan sebutan Ms. Alfaro. Tidak ada pelayan yang memperlakukannya layaknya ratu. Semuanya tidak ada lagi. Semuanya hilang saat namanya nanti akan berganti menjadi Ms. Aldric.

Kakinya melangkah memasuki gedung tersebut menuju meja resepsionis menanyakan adanya Daniel atau tidak karena memang sebelumnya Fe tidak memberi kabar terlebih dahulu tentang pertemuannya. Beruntung sekali resepsionis itu tidak menanyakan tentang sudah ada janji atau belum, jadi makin mudah untuk bertemu dengan Daniel kembali di kantornya.

Jarinya menekan tombol lantai paling atas menuju ruangan Daniel. Suasana sepi saat menaiki lift khusus ke ruangan Daniel membuat jantungnya berdegup lebih kencang seperti waktu pertama bertemu.

Pintu lift terbuka semakin membuat jantungnya berdegup tidak beraturan saat ruangan Daniel begitu terlihat di depan namanya. Tangannya terlihat ragu untuk mengetuk pintu.

"What are you doing here?" Suara yang begitu menyebalkan kembali terdengar di telinganya.
Fe membalikan tubuhnya menatap wanita yang berpakaian kekurangan bahan, "Its not your business," jawab Fe tidak mau kalah.

Maureen tampak tersenyum miring meremehkan Fe seperti biasa, "So, pramugari gadungan ini udah belajar bahasa Inggris haha tapi sayangnya udah di keluarin ya? Siapa juga yang mau nerima seorang Feylisa jadi flight attendant yang bahasa Inggrisnya masih acak-acakan."

"Bukannya sombong, tapi saya gak mau ngeluarin kemampuan saya di depan orang yang gak ngerti apa-apa."

"Keep your mouth, bitch!"

"You too, the most bitchy."

Dengan wajah yang memerah seperti siap untuk menjambak rambut milik Fe, pintu ruangan yang sempat menjadi tempat adu mulut terbuka dengan lebar.

"Feylisa?" Daniel tersenyum dan mempersilahkannya masuk ke dalam ruangannya tanpa memperdulikan Maureen yang masih di luar dengan wajah yang memerah.

Matanya menyapu ke seluruh ruangan Daniel yang masih sama seperti dulu, masih bernuansa warna gelap tidak ada perubahan sama sekali.

Tangannya memberikan sebuah undangan untuk Daniel. Ah semuanya seperti mimpi. Harusnya nama Daniel bersama dengan namanya, bukan sebagai nama tamu undangan.

Fe masih belum percaya dengan kenyataan saat Daniel membuka undangan tersebut. Hatinya begitu nyeri saat Daniel kembali tersenyum kearahnya. Kenapa saat dirinya benar-benar akan pergi Daniel selalu memberikan senyumannya? Bahkan saat dulu masih bersama, Daniel selalu memberikan tatapan tajam dengan nada suara yang begitu dingin.

"Aku minta maaf," kalimat itu keluar begitu saja dari bibir Fe.

"Tidak ada yang salah, tidak ada yang perlu untuk di maafkan. Salahkan waktu yang sekedar mempertemukan namun tidak mampu menyatukan," Daniel berjalan mendekat ke arahnya, "Kau pasti meminta untuk mengulang waktu agar dari awal tidak bertemu dengan ku, kan?"

Layaknya orang gila Fe malah tertawa mendengar ucapan Daniel, tawanya disertai dengan keluarnya air mata di sudut matanya.

"Oh sorry, i didnt mean to--

Tanpa melanjutkan ucapannya lagi, Daniel langsung meraih Fe ke dalam dekapannya. Membiarkan Fe membasahi kemejanya dan membiarkanya untuk meluapkan segala emosinya.

"I love you," kata Fe disela-sela tangisnya yang dapat terdengar jelas oleh Daniel.

"You make me hurt, Ms. Anastasya,"

Fe merenggangkan pelukannya, "Kenapa?"

"You say I love you but, you never be mine and i never be yours."

"And the first time you said you love me when you're really going to leave me, but im fine as you happy with him." Kata Daniel lagi.

"Daniel, maaf." Nada suaranya kian melemah merasa bersalah dengan Daniel karena memang sudah telat untuk mengungkapkan semuanya.

"Hey, look at me. Im fine as you happy with him. Tidak siapapun yang salah disini, berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Semuanya akan berjalan dengan baik Fe, kau hanya perlu menerimanya dan membiarkannya mengalir untuk memulai dengan kehidupan yang baru."

"Apa kau sudah punya pengganti yang baru?" Tanya Fe hati-hati.

Daniel tertawa sebentar kemudian menangkup wajah Fe dengan kedua tangannya, "Akan ku pastikan kau bahagia dengannya baru aku akan mencari penggantimu." Fe membalasnya dengan senyuman, pria ini terlalu baik meskipun dengan pertemuan yang tidak masuk akal.

"Selama perjalanan kesini degupan jantungku tidak bisa terkontrol seperti waktu pertama bertemu, tapi sekarang degupan jantung itu berarti pertemuan terakhir bukan pertemuan pertama lagi. Karena saat aku sudah menikah, kau pasti melarangku untuk bertemu denganmu lagi."






Nahloh jadi baper.

Gadeng.

Feelnya gadapet.

Receh. Bodo ah wkkw


Selamat belajar.



Les Privat! [END] - [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang