"Hiyaaat ... ! Haaat ... !"
Teriakan keras seperti tengah terjadi pertempuran terdengar merobek kesunyian pagi, di sebuah tanah lapang yang luas di Lereng Gunung Jarak. Teriakan itu terdengar berasal dari seorang pemuda bertelanjang dada yang tengah berlatih.
"Haaat ... !"
Kembali pemuda itu berteriak nyaring melengking. Dibarengi teriakan, kaki kanannya dikibaskan ke sebatang pohon.
Brakkk...!Seketika itu juga pohon sebesar dua pelukan orang dewasa, tumbang. Suara bergemuruh mengiringi rubuhnya pohon itu ke tanah.
"Bagus sekali, Sapta!" puji seorang kakek yang sejak tadi memperhatikan. Di sebelah kakek itu nampak seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Wajahnya cantik manis. Rambutnya digelung ke atas. Pakaiannya berwarna jingga, sehingga cocok sekali dengan warna kulitnya.
Pemuda bertelanjang dada yang dipanggil Sapta itu menghentikan latihannya. Dibalikkan tubuhnya menghadap kakek yang kira-kira berusia enam puluh tahun. Pakaiannya rompi dan celana sebatas bawah lutut tampak penuh tambalan, membungkus tubuhnya yang kurus kering. Kakek itu ternyata memang seorang pengemis! Di tangan kanannya, tergenggam sebatang tongkat kayu berwarna merah. Dalam rimba persilatan, dia berjuluk Pengemis Tongkat Merah.
"Aku mohon petunjuk, Guru," pinta Sapta yang berusia sekitar dua puluh satu tahun itu.
Pengemis Tongkat Merah yang ternyata guru pemuda yang bernama Sapta itu tertawa terkekeh.
Dipandanginya sosok tubuh tinggi besar, dan berhidung melengkung di hadapannya sebentar.
"Tidak ada lagi yang dapat kuajarkan, Sapta. Semua ilmu yang kumiliki telah beralih kepadamu dan Kami," tegas kakek kurus kering itu sambil menoleh kepada gadis yang berdiri di sebelahnya. "Kau telah menguasainya dengan baik. Aku bangga padamu, Sapta!"
Wajah pemuda tinggi besar dan berhidung melengkung itu memerah, menerima pujian itu.
"Ah, semua ini adalah berkat bimbingan Guru, dan Kami juga," ucapnya merendah.
"Kau memang terlalu rendah diri, Sapta. Aku hanya membantu, sedangkan hasilnya semua tergantung padamu. Kau rajin dan sungguh-sungguh, sehingga tidak aneh kalau hampir setingkat Kami yang telah lebih dulu belajar," ujar kakek itu sambil tersenyum.
Ucapan Pengemis Tongkat Merah membuat Sapta termenung. Ingatannya terlempar ke masa sepuluh tahun silam.
Waktu itu ia, ayah dan ibunya pergi berburu ke sebuah hutan. Karena ayah Sapta adalah seorang kepala desa, tidak aneh jika dalam perburuan itu, mereka dikawal beberapa anak buah ayahnya.
Tapi sesungguhnya di dalam hutan, terjadilah hal yang tidak disangka-sangka. Toga yang bertindak sebagai kepala pengawal, tiba-tiba melompat turun dari kudanya.
"Ha ha ha ! Sekarang adalah akhir dari kejayaanmu, Ki Panjar!" ucap laki-laki bertubuh tinggi kekar, berkulit hitam, dan berkumis melintang itu. Suaranya begitu keras dan kasar. Ketika dijentikkan jarinya, seketika para pengawal yang berjumlah delapan orang itu bergerak mengurung Ki Panjar, istrinya dan Sapta, yang waktu itu baru berusia sebelas tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serial Dewa Arak - Aji Saka
Fiction généraleHari masih pagi, ketika di kaki lereng Gunung Waru berkelebat beberapa bayangan yang bergerak cepat menuju ke puncak. Menilik dari gerakan yang rata-rata ringan dan gesit, dapat diketahui kalau bayangan-bayangan itu adalah orang-orang persilatan yan...