Hari masih pagi, ketika di kaki lereng Gunung Waru berkelebat beberapa bayangan yang bergerak cepat menuju ke puncak. Menilik dari gerakan yang rata-rata ringan dan gesit, dapat diketahui kalau bayangan-bayangan itu adalah orang-orang persilatan yan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
1
"Hhh ... !"
Prabu Nalanda menghela napas berat. Raut wajahnya nampak menyiratkan kecemasan. Sepasang matanya kemudian beredar, mengawasi sekelilingnya. Satu persatu, dirayapinya wajah wajah orang yang duduk bersila di depannya.
"Pulau Ular...," gumam Raja Bojong Gading pelan.
"Benar, Gusti Prabu," sahut seorang pemuda berambut putih keperakan. "Begitulah berita yang hamba dapatkan dari Tuyul Tangan Seribu."
"Aku memang pemah mendengar cerita yang tersebar mengenai pulau itu, Arya. Sebuah pulau yang penuh teka-teki," jelas Raja Bojong Gading lagi. "Kau tahu, di mana letaknya pulau itu?"
"Hamba belum tahu, Gusti Prabu," sahut pemuda itu, yang ternyata Arya Buana atau Dewa Arak sambil menggelengkan kepala. "Tapi mungkin Ki Julaga dan Ki Temula mengetahuinya."
Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih keperakan ini mengalihkan tatapan pada wajah-wajah tua di dekatnya.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Boleh hamba bicara?" tanya seorang kakek berwajah tirus, berpakaian kuning.
Prabu Nalanda menoleh. Ditatapnya wajah kakek yang tak lain adalah Ki Temula, Ketua Perguruan Garuda Sakti. Perlahan kepalanya terangguk.
"Silakan, Ki."
"Begini, Gusti Prabu. Maaf, bukannya bermaksud menyombongkan pengetahuan. Tapi menurut hemat hamba, lebih baik Arya mengurungkan maksudnya untuk pergi ke sana."
"Mengapa, Ki?" tanya Dewa Arak.
"Pulau Ular adalah sebuah pulau penuh teka‑teki dan berbahaya, Arya. Di sana penuh dengan tempat berbahaya. Apalagi, tempat itu juga ditaburi racun di sekitarnya. Letaknya saja jarang orang yang tahu," jelas Ki Temula.
"Tapi, kau kan tahu letak pulau itu, Ki?" Raja Bojong Gading yang mendahului bertanya. Terpaksa Arya menahan pertanyaan yang akan diajukan.
"Kalau secara pasti, hamba tidak mengetahuinya, Gusti Prabu," sahut Ki Temula jujur. "Hamba hanya mengetahui dari cerita-cerita pendahulu hamba di Perguruan Garuda Sakti."
Raja Bojong Gading mengangguk-anggukkan kepala.
"Bisa kau ceritakan padaku mengenai Pulau Ular itu, Ki?" pinta Arya, halus.
Sebentar kakek berwajah tirus itu menghela napas berat.
"Pulau itu berada di tengah Laut Hitam, Arya. Jadi untuk menuju ke sana, terlebih dulu kau harus mencari Pantai Karang Hitam. Bukan begitu, Ki?" kata Ki Temula sambil menoleh ke arah Ki Julaga.
Ki Julaga menganggukkan kepala pertanda membenarkan. Sementara Prabu Nalanda, Dewa Arak, Patih Rantaka, dan beberapa orang anggota pasukan khusus yang berjaga jaga di sekitar situ hanya diam mendengarkan.
"Setelah menemukan Pantai Karang Hitam itu, kau harus berlayar terus ke arah Barat. Dan kalau salah arah, sampai kapan pun kau tak akan menemukan pulau itu," sambung kakek berwajah tirus itu.