Suara cicit burung menyambut datangnya pagi. Sang mentari bersinar lembut menyinari bumi. Dua orang lelaki berwajah kasar melangkah memasuki mulut Desa Bandan. Melihat senjata yang terselip di pinggangnya, bisa diketahui kalau kedua orang ini adalah orang-orang persilatan.
"Benarkah katamu, Kang? Apa kau yakin benda bercahaya itu jatuh di Hutan Bandan?" tanya salah seorang yang berwajah bopeng.
Orang yang dipanggil kakang, hanya menganggukkan kepalanya. Tubuhnya tinggi besar dan kekar tapi wajahnya kurus. Hampir-hampir tidak berdaging. Seperti tengkorak saja layaknya.
"Begitulah berita yang kudengar Adi. Sayang, aku tidak tahu tempatnya," sahut laki-laki yang berwajah tengkorak. "Menurut orang yang kita tanyai, hutan itu tak jauh dari sini. Tapi, di mana ya?" sambung si muka tengkorak lagi sambil memandang sekelilingnya.
"Nanti bisa kita tanyakan pada penduduk yang kita temui lagi, Kang," timpal laki-laki bermuka bopeng itu.
Belum lagi mereka melangkah jauh, keduanya berpapasan dengan tiga orang petani yang tengah menuju ke sawah. Laki-laki bermuka bopeng itu bergegas mendekati.
"Hei, Pak Tua...!" tegur laki-laki bermuka bopeng itu keras.
Tiga orang petani yang rata-rata berusia setengah baya itu menoleh ke arah asal suara. Kening mereka berkerut, begitu melihat dua orang aneh bertingkah laku kasar datang mendekat.
"Kau tahu di mana letak Hutan Bandan, Pak Tua?" tanya laki-laki berwajah bopeng dengan kasar.
Wajah tiga orang petani itu mendadak pucat. Tapi hal inimalah membuat si muka bopeng tertawa senang.
"Tidak perlu takut," ucap laki-laki berwajah bopeng itu dengan lagak memuakkan. "Kalau kalian memberitahu letak hutan itu, kalian tidak akan kami apa-apakan."
Ketiga petani itu menggeleng-gelengkan kepalanya serempak.
"Kami... kami tidak tahu, Tuan," jawab salah seorang yang berkumis putih.
"Apa?!" teriak si muka bopeng. Sepasang matanya membelalak lebar. "Kau berani berbohong pada kami, tua bangka peot?!"
Sambil berkata demikian, tangan laki-laki kasar itu meraba hulu pedang di pinggangnya. Tentu saja hal itu membuat ketiga orang petani itu gemetar.
"Aku... aku tidak bohong, Tuan...," sahut salah seorang dari petani itu terbata-bata.
Terdengar suara berderak keras saat laki-laki bermuka bopeng itu mengepalkan tangan kirinya.
"Keparat...! Rupanya kau lebih suka memilih mati, heh?! Kalau benar begitu, pergilah ke neraka, tua bangka!"
Setelah berkata demikian tangannya berkelebat cepat. Dan .....
Srat! Crak..!
"Akh...!"Si petani berkumis putih menjerit tertahan. Pedang laki- laki bermuka bopeng itu telah membabat lehernya. Seketika kepala si petani terpisah dari lehernya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Serial Dewa Arak - Aji Saka
Fiksi UmumHari masih pagi, ketika di kaki lereng Gunung Waru berkelebat beberapa bayangan yang bergerak cepat menuju ke puncak. Menilik dari gerakan yang rata-rata ringan dan gesit, dapat diketahui kalau bayangan-bayangan itu adalah orang-orang persilatan yan...