18. Kelelawar Beracun

2.5K 27 0
                                    

Sang surya sudah lama tenggelam di ufuk Barat. Dan kini kegelapan menyelimuti bumi. Apalagi awan tebal yang menghitam ikut bergumpal-gumpal menghalangi bulan sepotong yang bersinar lemah di langit. Suasana malam jadi terasa mencekam. Tambahan lagi, angin dingin yang menggigilkan tulang sesekali berhembus keras. Maka, lengkaplah sudah keadaan yang terasa menakutkan itu. Hening, sepi, dan mati!

Tapi keheningan malam itu ternyata tidak berlang­sung lama. Karena sesaat kemudian, terdengar derap langkah-langkah kaki kuda yang membuat tanah bergetar. Bisa diperkirakan kalau jumlah kuda itu mencapai belasan ekor!
"Hooop ... !"

Seorang laki-laki berikat kepala merah dan ber­pakaian hitam, mengangkat tangan kirinya ke atas seraya menarik tali kekang kuda dengan tangan kanan. Seketika itu juga langkah binatang tunggangannya berhenti. Begitu pula belasan ekor kuda yang berada di belakangnya. Rupanya laki-laki berpakaian hitam itu bertindak sebagai pemimpin rombongan.

Menilik dari wajah belasan orang itu yang agak kasar, dan sikap yang rata-rata liar, bisa diperkirakan kalau mereka bukan rombongan orang baik-baik.

Laki-laki berpakaian hitam dan berikat kepala merah itu lalu menatap belasan wajah yang berada di sekitarnya.

"Kali ini kita akan berpesta," ujar laki-laki berikat kepala merah itu. Suaranya melengking nyaring seperti suara seorang wanita. "Sasaran kita kali ini adalah Desa Jati Jajar."

Seketika itu juga terdengar suara sorak-sorai riuh menyambuti perkataan itu.

"Mengapa tidak dari dulu-dulu saja, Kang?" sambut seorang yang berkepala botak gembira seraya menatap wajah laki-laki berpakaian hitam itu. "Biar semua tahu, siapa dirimu. Kang!"

"Ya!" sambut orang bergigi tonggos. "Kita tunjukkan pada adipati keparat itu, siapa Kakang Kala Ireng!"

"Akur ... !" sahut yang lain.
"Benar ... !" orang kasar lainnya tak mau ketinggalan. "Setuju ... !"

Seketika itu juga suasana malam yang semula hening, sepi, dan menyeramkan, berubah riuh gembira. Suara-suara keras dan kasar terdengar saling susul, tak mau kalah. Masing-masing orang kasar itu berkata semaunya.

Tapi suara ribut-ribut itu langsung sirna ketika laki­laki berpakaian hitam yang bernama Kala Ireng ini mengangkat tangan kanannya ke atas. Jelas, dia adalah seorang pemimpin yang cukup disegani anak buahnya. Kini semua pasang mata tertuju padanya, menunggu apa yang akan dikatakan pemimpin mereka.

Dengan sikap tenang, Kala Ireng menatap satu persatu wajah-wajah yang tertuju ke arahnya. Raut wajah Kala Ireng tampak agak kurus. Dahinya terlihat agak lebar karena bagian depan kepalanya tidak ditumbuhi rambut. Mungkin karena pakaiannya yang serba hitam, sehingga dia mendapat julukan Kala Ireng.

"Memang itulah maksud tujuanku sebenarnya," kata Kala Ireng dengan suara melengking nyaring seperti suara seorang wanita.

"Horeee ... !" seru gembira laki-laki berkepala botak.
"Hidup Kakang Kala Ireng...!" teriak seorang lainnya yang berkumis tebal sambil mengangkat tangan kanannya ke atas.
"Hidup ... !" sambut semua anggota gerombolan serentak. Pohon dan semak-semak sampai bergetar hebat akibat gemuruh suara rawa mereka.

"Ha ha ha...!"

Kala Ireng tertawa terbahak-bahak. Sebuah suara aneh. Kecil dan melengking nyaring.

Kembali laki-laki berikat kepala merah ini mengangkat tangan kanannya ke aras. Seketika itu pula, suara ribut-ribut sirna. Lenyap mendadak, seperti ayam yang dicekik lehernya.

Begitu suasana kembali hening seperti sediakala, Kala Ireng kembali menggerakkan tangannya yang semula terangkat ke atas menuju ke depan. Berbareng dengannya ditarik kembali, tali kekang kudanya dihentakkan. Tidak hanya itu saja. Bagian belakang tubuh binatang itu juga dilecutnya.

Serial Dewa Arak - Aji SakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang