7 - Surat Kedua, Perjanjian Pertama

980 106 62
                                    


Raysa masih berkutat pada selembar kertas putih dengan penanya, menulis untaian kata sederhana di dalam surat. Raut wajahnya terlihat serius dan asyik menggerakkan jemari mungilnya untuk menuliskan surat tersebut.

Diatas meja telah tersedia amplop berwarna biru muda yang terbuat dari kertas origami. Amplop tersebut terkesan unik dengan sedikit ilustrasi awan dan matahari yang dibuat sendiri oleh raysa dengan tangan kreatifnya. Sekarang baru jam 6 pagi, biasanya Raysalma baca novel sebelum bel masuk berbunyi. Namun, tiba-tiba Raysalma ingin mengirim surat untuk yang kedua kalinya buat Revan.

"Raysa!" teriak Raline membuat Raysalma mendongak dan menemukan Raline sedang menghampirinya dengan senyum sumringah, "Kemarin Revan meluk lo?"

Raysalma berdesis agar Raline memelankan volume suaranya, "Sst! Kecilin dikit, Lin, nggak enak sama Riko yang lagi belajar." Kata Raysalma sambil melirik Riko yang sedang membolak-balikan lembaran buku Biologi.

Raline melambaikan tangannya di depan wajah Raysalma dengan acuh, "Beritanya udah terlanjur kesebar ke seluruh kelas, jadi kalo gue ngomong kenceng juga nggak apa-apa."

Raysalma mendengus sambil memasukkan surat ke dalam amplop, "Gue juga kaget, tiba-tiba aja gitu," kata Raysalma, "Lin, Revan orangnya gimana?"

Raline tersenyum jahil, "Kayaknya hubungan lo dan Revan mulai membaik, nih," kata Raline, "Gue, kan, temenan dekat sama dia dari SMP, dan dia emang beneran baik kok. Jadi, kalo banyak yang suka ya wajar."

Raysalma menggumamkan oh panjang kemudian mengangguk paham.

"Tapi kemarin itu ngagetin banget, lho, Ray, tiba-tiba banget si Revan meluknya," kata Raline yang tiba-tiba jadi antusias sendiri, "Kemarahan gue ke Diandra karena dia hampir ngancurin pagelaran kita tiba-tiba jadi kebahagiaan aja gitu pas tau kalo Revan mencoba ngehibur lo."

Raysalma meninju bahu Raline dengan pelan sambil tertawa kecil, "Sial, gue kan cerita sama lo karena mau ngelupain kejadian semalem," protes Raysalma, "Lo malah nginget-ngingetin."

"Tapi kejadian semalam nggak buruk-buruk banget, kan?"

"Iya, sih," gumam Raysalma, "Anterin ke lokernya Revan, yuk. Mau naro surat."

"Lo surat suratan begini udah kayak di zaman perang."

Raysalma tertawa kecil, "Surat-suratan itu tonggak awal dari komunikasi," kata Raysalma, "Gue tertarik nulis surat karena buku yang gue baca, buku berjudul Door Duisternis tot Licht, atau Dari Kegelapan Menuju Cahaya, pada 1922 diterbitkan menjadi buku kumpulan surat Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, oleh Balai Pustaka. "

Raline menggelengkan kepala sembari berdecak, "Lo emang sengaja mau bikin gue botak, ya, gara-gara kutipan isi dari buku yang lo baca itu? "

Raysalma menghiraukan omongan Raline, "Gue harus perbaikin hubungan gue sama Revan, karena Revan bakal jadi teman sebangku gue buat dua tahun lagi."

Raline mengangguk setuju, "Ya kalo mau lebih dari temen juga nggak apa-apa, kok."

Awalnya, Raysalma tidak dapat menerima kenyataan bahwa Revan akan tetap menjadi teman sebangkunya, karena kelas IPA 1 adalah kelas yang tidak pernah di-rolling.

Status kelas ini sebagai kelas khusus untuk anak anak yang memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi membuat kelas ini diperlakukan beda dengan kelas lainnya-belajarnya lebih cepat dan ulangan hariannya lebih cepat.

-To Revan-

"Raysa," panggil Raline yang sudah membuka loker milik Revan, "Mana suratnya?"

To: Revan [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang