"Raysalma, hiks! Raysa, tolong gue!"
Sebuah teriakan memanggil nama Raysa bersamaan dengan bunyi langkah sepatu yang menggema di koridor, membuat Gadis itu mengusap telinganya dengan jengkel begitu teriakan lengking tersebut memasuki Indra pendengarannya.
"Duh! Ini kuping, woy, kuping! Bukan jamur." Sungut Raysa begitu sosok yang meneriakinya duduk disampingnya, "Lin? Lo nangis?"
Raysa menatap Raline tidak percaya.
Raline menggapai tubuh Raysa untuk dipeluknya, " Hiks, Raysa. Wayang gue diinjak anak dugong, hiks! Si Revan seenak jidatnya ngancurin Wayang gue. Itu tangan udah kayak capitan kepiting tahu, nggak. Dikira bikin wayang segampang jemur ikan asin apa, hiks! "
Raysa mengelus punggung Raline yang bergerak naik-turun searah dengan isakannya, "Duh, Lin. Lo juga, sih. Udah tahu isengnya Revan udah akut-kayak penyakit mag akut Lo. Harusnya Lo lebih protektif waktu Revan gerayangin meja Lo. "
Raline mengurai pelukannya sembari mendengus di tengah tengah matanya yang sembab, "Kok jadi nyalahin Gue sih, Ray. Ngeledek lagi. Ah, nyesel Gue curhat sama Lo. "
Raysa tersenyum kecut melihat Wayang Raline yang tidak berbentuk-dengan kardus yang bengkok serta kayu yang patah menggantung, "Jadi, apa yang mau lo lakukan sama Wayang tanpa bentuk ini?" Tanya Raysa sembari meraih Wayang tersebut dari tangan Raline.
Raline menghela nafasnya sembari mengedikkan bahu, "Yah, gimana, Ray? Hiks! Gue takut nilai prakarya Gue kosong kalau nggak ngumpulin ini, hiks! "
Raysa menggigit jarinya dengan gusar, "Lo harus latihan cheers buat lomba besok, kan? Kalau gitu, biar gue yang perbaikin Wayangnya. "
Raline menghentikan isakannya sembari menatap Raysa dengan heran. "Lo serius? Nggak mabok, kan? " Raline memegang dahi Raysa dengan punggung tangannya.Raysa baru akan menjawab sebelum akhirnya Raline memeluknya sembari terisak bersamaan dengan decitan senangnya, "Ya ampun Raysa-thanks a lot. "
Raysalma terkekeh, "Sama-sama, Dora."
"Ya Allah anaknya malah nangis. Gue udah ada niat baik, nih mau tanggung jawab. "
Raline mengurai pelukannya sembari menyeka air matanya, sementara Raysa menoleh kebelakang dan menemukan Revan berdiri bersandar pada tembok disamping kursinya.
"Tanggung jawab apaan, sih yang bisa Lo buat? Nggak capek sering bikin Gue nangis dari kelas 7? Nggak capek dimarahin Bunda karena nangisin Gue? " sembur Raline, "Raysa, Lihat tuh kelakuan si cumi. Marahin, Ray, Marahin. Gue capek bikin gituan sementara dia seenak jidatnya nginjak wayang Gue, hiks! "
Revan melotot kesal begitu mendengar celotehan yang keluar dari bibir Raline, membuat Raline menyembunyikan setengah wajahnya dibalik punggung Raysa, seolah mencari perlindungan dari Raysa, "Apa Lo melotot gitu? Tampang Lo udah kayak Reog tahu, nggak." sungut Raline, "Ada Raysa, kalau perlu Gue ngadu ke Bunda Kinanti sekalian. "
Revan mendengus, "Ya terus mau Lo apa? Gue nggak sengaja nginjak Wayang lo dan mau tanggung jawab, Elo nya malah mewek nggak jelas. Gue harus tanggung jawab gimana?"" Bikinin lagi, Lahh. Lu kira apa yang lebih Gue butuhin sekarang? "
Tangan Revan bergerak mengelus dadanya, "Tolong sadarkan Gue bahwa orang yang didepan Gue itu manusia biar Gue nggak kelepasan jadiin dia dendeng. "
KAMU SEDANG MEMBACA
To: Revan [TELAH TERBIT]
Teen Fiction[BOOK 1] Mungkin tidak mudah menjadi Gadis yang terlalu Genius. Oke, menjadi Genius memang 'Menyenangkan', tapi gimana kalau Kejeniusanku malah membuat Revan merasa tersaingi dan benci? Aku--yg nguasain isi buku tebal ttg psikologi manusia--tidak da...