PART 19
Raysa mengetukkan jemarinya diatas meja dengan mata yang tak lepas dari kertas diatas mejanya. Ini sudah H-5 menuju Puncak acara Music Line Competition dan Raysa sama sekali belum mempersiapkan lagu yang akan dibawakan bersama piano-nya. Ini Ini kompetisi musik paling bergengsi sejak tahun 1998 dan Raysa belum mempersiapkan lagu sama sekali. Raysa benar-benar dibutakan oleh masalah yang menghantuinya akhir akhir ini.
Namun, Raysalma sudah mempersiapkan tiga pilihan lagu yang akan dia bawakan, yaitu Everytimes dari Britney Spears, Only Hope dari Mandy Moore, dan Isyarat dari Trisouls. Raysa akui bahwa lagu Everytimes sangat menggambarkan dirinya karena lagu itu menceritakan tentang kesedihan dan putus asa. Namun, akh, Raysa merasa seperti remaja galau jika membawakan lagu tersebut.
Mungkin akan lebih mudah jika Raysa membawakan lagu Isyarat, karena Raysa sudah berkali kali memainkan lagu tersebut dirumah. Selain itu, lagu itu juga menggunakan diksi yang indah dan relate dengan kehidupan sehari-hari Raysalma. Satu satunya hal yang dibutuhkannya adalah saran dari Raline atau mungkin anak Pamdav-karena sebagian dari mereka memiliki selera musik yang sama seperti Raysa, terutama Raline.
Raysa melirik arlojinya yang menunjukkan pukul 06. 15, Namun kelasnya masih lebih sunyi dari kuburan. Raysa langsung membereskan lembar partitur musiknya dan melesat keluar kelas menuju Ruang Pamdav.
Begitu Raysa keluar dari kelas, mata Raysa langsung menemukan Revan yang baru naik dari tangga sambil memasang dasi. Raysa semakin memperlambat langkahnya begitu Revan mendongak dan melempar tatapan tajam ke manik mata Raysa.
Tatapan Revan kali ini jauh dari kata lembut dan ramah.Raysa membuang jauh-jauh pikirannya tentang tatapan Revan itu karena sekarang yang harus dilakukannya adalah bertanya tentang keadaan Revan. Maksudnya, bukannya Raysa berniat basa-basi ataupun semacamnya, hanya saja Raysa perlu tahu bagian mana dari tubuh Revan yang sakit waktu Revan menolong Raysa sampai jatuh ke tanah-Revan terlalu banyak bercanda kemarin sehingga ucapannya tentang dia yang baik baik saja sedikit meragukan.
"Revan, " Raysa mencekal lengan Revan, "Saya mau tanya. " Bagian mana yang sakit? Bukannya saya kepo, tapi saya perlu tahu, kan kamu sakit gara gara saya, jadi-"
"Bukannya semalam Lo udah nanya ke Bunda Gue?" Revan menyela ucapan Raysa dengan alis terangkat, "Trus kenapa nanya lagi? Emang Bunda jawab apa? "
Raysa menelan ludahnya dengan getir. Raysa memang menghubungi Bunda Kinanti semalam--hanya untuk menuntaskan kecemasannya atas kondisi Revan, tidak lebih,"Kamu dengar omongan saya sama Bunda? "
Revan mengulum senyum sinis, " Buat apa Lo telfon Bunda? Kalo cuma mau nanya keadaan Gue, nggak guna! "
"Saya semalam telfon Bunda soalnya saya harus pastiin keadaan kamu dan Bunda bilang kalo beliau nggak tau kamu sakit. " Ujar Raysa sembari menatap Revan dengan canggung.
Revan menyampirkan tas navy di bahu kirinya sambil tersenyum sinis, "Peduli juga lo sama Gue. "
Raysalma menatap Revan dengan tatapan nanar, "Saya semalem mikirin kondisi kamu, Revan. Kamu kok malah ngomong seakan saya nggak peduli sama kamu?" kata Raysalma, "Jelas saya peduli, itu gara-gara saya. "
"Lebih tepat gara-gara kecerobohan Lo yang nggak hilang dari dulu. "
Raysa menghela nafasnya sembari menatap Revan penuh luka, "Saya nyesal udah mikirin kondisi kamu semalem dan nanya kayak gini. Ternyata kamu emang nggak pantas buat dikhawatirin. "
KAMU SEDANG MEMBACA
To: Revan [TELAH TERBIT]
Teen Fiction[BOOK 1] Mungkin tidak mudah menjadi Gadis yang terlalu Genius. Oke, menjadi Genius memang 'Menyenangkan', tapi gimana kalau Kejeniusanku malah membuat Revan merasa tersaingi dan benci? Aku--yg nguasain isi buku tebal ttg psikologi manusia--tidak da...