14 - (Bukan) Salah Siapapun

679 65 33
                                    


Satu kecupan hangat mendarat di kening anak laki-laki yang masih terpejam dengan infus dan alat bantu pernafasan. Suatu mimpi buruk yang menyelusup masuk ke dalam rongga hati Raysa sekalipun harus menelusuri lubang hitam dan kecil sekalipun.

Raysa melepas kecupannya yang cukup lama di kening Cikal, kemudian menoleh menatap Nenek yang tengah duduk di sofa belakangnya. Tatapannya terlihat sendu dan lembut, tatapan yang membuat Raysa enggan untuk menyakiti hatinya sedikitpun.

Nenek tersenyum hangat, "Jangan anggap ini semua sebagai kenyataan pahit, Ray. Kamu bakal merasa sakit ketika kamu menanggapi kejadian ini sebagai sesuatu yang buruk di hidup kamu."

Raysa tersenyum tipis, "Aku cuma mau anggap ini semua cuma mimpi. Tapi aku nggak bisa. Ini semua nyata dan aku nggak bisa menyangkal kondisi Cikal sekarang, nek. "

Raysa menganggap ini semua hanya sekadar mimpi. Raysa hanya akan bangun dari mimpinya ketika Cikal kembali membuka mata

Menyaksikan senyum hangat dari orang yang disayanginya merupakan salah satu hal sederhana dalam hidupnya, seakan hanya dengan melihat senyum mereka saja dapat membuat Raysa lebih hidup.

“Cikal cepet sembuh, dong,” kata Raysalma sambil menggenggam lengan Cikal, “Nanti kita main hujan-hujanan lagi.”

Ceklekk

Pintu kamar inap Cikal terbuka dan menampakan Elfa yang tengah berdiri di depan pintu dengan Raca yang sedang memamerkan sederet gigi putihnya.
" Assalamu’alaikum."

"Waalaikumussalam."

Elfa mencium punggung tangan nenek dengan santun sembari menundukkan badannya, kemudian berdiri di samping kiri ranjang Cikal, menatap Cikal sembari mengelus rambutnya.

Raca berdiri di samping Elfa sembari menatap Cikal dengan pandangan menerawang, "Cikal belum sadar dari kemarin, Ray?"

Raysa menghela nafasnya kemudian menggeleng, "Belum kak. "

Elfa menghela nafasnya dengan kasar. Elfa sangat membenci kondisi dimana ia harus merasa bersalah dan menanggung malu akibat ulah adiknya, Diandra yang sudah terlewat batas. Ulah Diandra tidak dapat ditoleransi sebenarnya, karena bagaimanapun juga tidak ada yang salah dari Raysa ataupun Cikal.

Diandra juga tidak seharusnya melampiaskan kebenciannya terhadap Raysa ke Cikal.

Elfa mendongak menatap Raysa dengan tatapan sendu, membuat Raysa bingung harus menanggapi Elfa dengan ekspresi seperti apa. Raysa hanya tersenyum tipis menatap Elfa. Elfa benar benar senior yang sangat dekat dengannya.

" Maafin gue ya, Ray.. Gue tau, harusnya gue bisa mendidik Diandra biar nggak liar kayak gini. Harusnya gue bisa jaga amanah orangtua gue buat ngejagain Diandra dan nggak ngebiarin Diandra buat bersikap kayak anak kecil. "

Raysa menernyit bingung, beberapa detik kemudian Raysa kembali tersenyum, "Emangnya antara kehilangan Cikal dan Diandra itu ada kaitannya, kak?"

“Ada,” kata Elfa dengan tubuh yang bergetar hebat, “Kalau aja Diandra nggak bawa Cikal pergi dan ninggalin Cikal di pinggir jalan pasti Cikal nggak bakal kehujanan. Cikal nggak bakal ketabrak motor kayak gini. "

Raysa membulatkan matanya, sulit dipercaya. Raysa merasa tidak pernah memberi goresan luka di hati siapapun termasuk Diandra.

Namun Diandra berhasil membuat Raysa kehilangan kata kata akibat ulahnya. Diandra berhasil membuat Raysa ingin membunuhnya detik ini juga. Diandra berhasil memecahkan kesabaran yang berusaha Raysa jaga selama satu tahun mengenalnya, memagari hatinya dengan pagar besi yang seolah membuat setiap orang enggan untuk memecahkan kesabaran Raysa.

To: Revan [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang