BAB 6 - "Life is a choice, and we must dare to choose"

117 5 6
                                    

"Aku lelah!" bisikkan itu kembali datang namun ia tak menggubrisnya. Ia menengadahkan wajahnya ke atas langit. Ia kembali terdiam tak bersuara sama sekali saat kabut tipis melayang-layang diatasnya.

Di saat bersamaan, di luar pendakian itu, Vino bertemu dengan Intan untuk sekadar bercengkrama bersama di Pantai Boom dekat dengan Selat Bali untuk melihat matahari terbit pagi itu. Mereka berdua tampak riang gembira. Tentunya ini adalah hal yang berbeda dengan apa yang sedang dilakukan oleh Nugie.

"Tan.." panggil Vino lirih dengan sahutan deburan ombak di pinggir pantai.

"Ada apa?" Intan terlihat begitu asyik memainkan jari-jemarinya di atas pasir. Iapun menjawab panggilan Vino tanpa melihat kearahnya.

"Nugie itu masih aja keras kepala ya," kata Vino. "Dia terlalu kaku untuk urusan ini Tan, dia masih saja buat tulisan-tulisan kontroversi, walaupun cuma lewat tulisan, tapi itu kan bisa bahaya buat dia. Tulisan-tulisannya itu sangat riskan, kontroversial. Apalagi negara kita ini masih belum stabil, aku takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan nantinya," katanya lagi menambahkan. Wajah risau itu ternyata tampak membalut dan menutupi sebagian wajahnya. Akhirnya ia merasakan resah juga dengan tindak tanduk yang sering Nugie lakukan.

"Aku juga bingung, sebenarnya apa sih yang dia cari itu," Intan menambahi pernyataan Vino sambil memandangi keindahan matahari terbit di lautan luas di Selat Bali yang menyapu pandangannya. "Indah," lirihnya dalam hati.

"Kamu tahu kan, sekarang dia punya serikat buruh. Mau apalagi dia!!" seru Vino. Ia menatap Intan. Ia nampak gusar sekarang.

"Kenapa?"

"Dia yang selalu menjadi penggagas ide-ide untuk kaum buruh di tempatnya bekerja. Selain itu, yang lebih mengganggu adalah tulisan-tulisannya pada pemerintahan kita di buku-bukunya yang kontroversial sama di beberapa surat kabar tempo hari. Memang sih itu baik, tapi..." kata Vino terhenti sambil tetap memainkan pasir yang ia putar-putar di samping tempatnya duduk kala itu.

"Tapi apa No?" tanya Intan lagi penasaran. Dia memandangi wajah bulat Vino dengan berbagai pertanyaan yang ia cerna sendiri. Vino mengacuhkannya sebentar, lalu melanjutkan pernyataannya kembali.

"Konsekuensi dari itu semua, dia pasti akan punya banyak musuh lagi. Seperti dulu." gelisahnya semakin terlihat. "Kenapa anak itu selalu kontroversial terus. Enggak pernah ngerti deh," ujarnya kembali dengan wajah tertunduk.

Intan tersenyum sambil menepuk-nepuk pelan pundak Vino. "Tenang aja No, saat ini HAM sudah bisa berbicara banyak. Semua bisa dipastikan aman. Beda sama zaman dulu, yang mengekang kebebasan berpendapat."

"Tapi..." potong Vino terhenti. Vino memandangi Intan tanpa berkedip. "HAM di negara kita ini masih belum bisa berjalan sebagaimana mestinya! Kamu tahukan kasus 1998?" tanyanya khawatir.

Intan mengedipkan matanya. menandakan semua akan baik-baik saja. Sambil memegang lengan Vino, dia berkata pelan. "Apa yang akan kita khawatirkan tidak akan pernah terjadi. Negara kita sudah aman. Tenang aja No. Serikat kerja ini juga tujuan mulia, kenapa juga kita harus menghalangi niatnya, toh teman-temannya juga mendukung di tempatnya kerja saat ini." Vino menepis tangan Intan perlahan, kemudian dia memalingkan wajahnya ke arah lain, seakan-akan ada yang dia tutupi. Intan pun tidak merasa curiga dengan apa yang di khawatirkan oleh Vino.

Di atas puncak Ijen, Nugie masih terdiam dalam tatapan penuh artinya. Tak banyak gerakan yang ia lakukan. Ia hanya memandangi arah timur sembari menunggu mentari benar-benar menampakkan wajah sepenuhnya. Ia termenung sendiri dari dinginnya cuaca pagi itu. Hatinya masih berkecamuk dengan berbagai perasaan yang berputar-putar dalam pikirannya. Dia masih berusaha mencerna tentang apa yang sebenarnya dia cari walau sebenarnya sedikit demi sedikit ia sudah melewati jawaban-jawaban tersebut. Dengan keluarga yang tidak ada masalah, serta pekerjaan yang aman terkendali. Rupa-rupanya hal tersebut masih belum cukup membuat Nugie berhenti untuk berpikir tentang segala gundah gulana dan keresahannya. Kenapa dia selalu menjadi penentang keras atas semua hal yang tidak sesuai dengan hati nuraninya, dan kenapa dia harus berjuang sendirian untuk masyarakat tersisih, masyarakat kecil yang selalu menjadi tumbal kekuasaan.

NUGIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang