BAB 18 - "Just because you can't run doesn't mean you can't reach the goal"

10 4 4
                                    

Vino segera melihat mas Firman dengan sinis. "Wajah berewok, ternyata juga feminim!" gerutunya.

"Namanya juga manusia." canda mas Firman pada Vino.

Vinopun merasa tidak akan berhenti disitu untuk kembali mengatai mas Firman, "Badan Rambo, hati Rinto," kontan saja celaan ini disambut tawa renyah dari rekan-rekannya yang lain.

"Dalamnya hati kan gak ada orang yang tau!" timpal Audry pada pembicaraan mereka berdua.

Sambil tetap memandangi tanjakan itu, dengan tetap duduk manis di atas matras masing-masing, Mas Fiman kembali bercerita tentang mitos-mitos yang ada di tanjakan itu, tak lupa pula ia menunjukkan prasasti ranu kumbolo yang berada tak jauh dari tempat mereka semua. Vino begitu semangat mendengarkan Mas Firman bercerita, namun dari arah lain sebuah suara mengagetkannya yang sedang asyik mendengar sebuah cerita, "Waktunya makan!" teriak Intan dari sisi lain.

Teriakan ini tentunya mengganggu konsentrasinya Vino, dan tanpa dikomando, ia segera bangkit dari tempatnya duduk dan berlari kecil menuju tempat makan yang sudah dipersiapkan Intan dan Audry sedari tadi.

"Makan siang nih," ujarnya sumringah.

Entah mengapa menu sederhana yang terhampar di hadapan mereka semua terlihat begitu nikmat. Telur rebus dan mi instan terlihat begitu menggoda mata mereka semua. "Wah, bahaya nih mienya!" serunya lagi. Ia tampak tergopoh-gopoh dan berseru-seru riang sambil menatap makanan yang ada di depannya.

Waktu berlalu begitu cepat, yang mengharuskan mentari tenggelam di atas cakrawala. Cuaca bertambah dingin ketika dewi malam mulai menurunkan tirai kelamnya pada bumi. Di sana pula Vino akhirnya mengerti tentang arti kebersamaan dan kesederhanaan. Di tempat dimana semua orang merindukan rasa damai berada dekat dengan hati. Suatu masa yang tak ia kenal semasa kecil. Hal ini juga bisa dimaklumi, karena Vino sendiri adalah anak dari keluarga yang kata Nugie adalah kolor-melarat bukan konglomerat. Pastinya keadaan-keadaan ini sangat berbeda dari kehidupan Intan ataupun Nugie. Satu hal yang Nugie suka dari Vino adalah kesederahanaannya dalam berteman dengan siapapun. Inilah yang membuat ia merasa cocok dengannya. Vino sudah ia anggap lebih dari sekedar teman. Rupanya, kedekatan ini juga Intan rasakan.

"Tempat seperti ini adalah tempat yang tepat untuk kita merenung. Tenang, sunyi dan sepi. Kita bisa dengarkan suara hati kita di tempat seperti ini No." ujar Nugie.

"Iya," sahut Vino singkat sambil terus melemparkan beberapa potongan ranting kering di bara api unggun di depannya.

"Coba kamu tutup mata, rasakan pelan-pelan. Dengarkan apa yang ada disekitar kita. Ada tenang dan damai." Nugie menutup matanya rapat-rapat. Vino yang melihatnya mengikuti apa yang Nugie katakan tadi. Ia merasakan hal yang sama. Suara gemerisik api unggun para pendaki yang berada disana, dan beberapa suara-suara binatang malam yang saling bersahutan dengan sesekali hembusan angin kencang menderu-deru dalam pendengarannya.

"Nug, aku jadi ingat almarhum Kakakmu," Ahmad tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Nugie membuka matanya, ia melihat Ahmad.

"Dulu dia pernah akan mengajakku ke Semeru, tapi rencana itu batal akhirnya." Ahmad menghela nafas sebentar, menundukkan kepalanya lalu kembali menatap bara api yang ada di depannya.

"Semenjak kematian Doel, aku jadi semakin yakin bahwa idealismenya itu tidak layak dipersalahkan oleh semua orang. Mungkin ia terlalu frontal menghadapi tudingan dan gunjingan-gunjingan saat itu. Tapi ia punya alasan." katanya lagi sembari mengingat-ingat persahabatannya dengan Doel kakak Nugie.

"Iya Mad," sahut Nugie sambil tersenyum.

"Kamu enggak beda jauh sama Kakakmu, yang membedakan cuma satu. Kakakmu suka demonstrasi, sedangkan kamu gak suka demonstrasi. Itu pembeda antara kamu dan Kakakmu. Tapi cara berpikirmu sama dengan dia. Kaku, kolot dan keras kepala," kata Ahmad lagi.

NUGIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang