BAB 10 - "There is not right time and right place for love"

6 4 0
                                    

Dari arah luar dia mengetuk jendela mobil itu, dimana Nugie berada di dalamnya. Dia memintanya untuk segera keluar dari dalam mobil.

"Gimana nih?" tanya Vino.

"Apanya?" Nugie bertanya balik.

"Intan, gimana?" tanya Vino lagi.

"Katanya kamu yang maju duluan kalau masalah beginian?" goda Nugie.

Vino memanyunkan bibirnya. "Masih aja bercanda. Ini serius Nug!" ujarnya.

Pada keputusan terakhir, mereka kembali ke kota Banyuwangi. Dan sebelumnya Vino dan Nugie sudah izin terlebih dahulu kepada orangtuanya masing-masing untuk pulang malam. Pukul setengah satu malam, mereka bertiga sampai kembali di kota Banyuwangi. Keadaan sepi lengang tanpa kendaraan berlalu lalang. Hanya ada beberapa pemuda berseliweran dengan motornya. Setelah itu mereka berdua mengantarkan Intan ke salah satu hotel untuk sementara waktu sampai semua aman terkendali.

Keesokan harinya di malam hari. Nugie menemui Ahmad bersama rekannya mantan residivis. Ahmad beserta rekannya yang bernama Joni tersebut bercerita banyak tentang tindak-tanduk Yoga dan ayahnya yang seorang mafia besar.

"Nug, kamu yakin mau berurusan dengan mereka?" tanya Ahmad dengan serius.

"Bisa iya bisa tidak, kenapa memangnya Mad?" tanya Nugie.

Ahmad mendekatkan wajahnya pada Nugie, Ahmad berkata pelan padanya. "Mereka itu mafia, bosnya preman! Kamu masih mau berurusan dengan mereka?"

Mendengar pernyataan itu Nugie-pun terdiam, dia melihat langit yang mendung tanpa banyak bintang yang bertaburan. Banyak sekali bayangan-bayangan gelap yang ia rasakan saat itu. Saat dimana dia harus melanjutkan masalah dengan gembong mafia, maju ataukah mundur dan menyerah begitulah kiranya kalang kabut perasaannya sekarang.

Sementara itu, Ahmad dan Joni tidak menampakkan wajah yang tak tenang, mereka berdua terlihat gusar, "Kamu pikirkan baik-baik Nug!" seru Ahmad sekali lagi.

Nugie masih berdiam diri dan memandangi Ahmad dengan begitu lekat. Tak nampak senyuman sama sekali dari mereka bertiga. Tatapan mata mereka menyiratkan suatu tanda yang lain. "Mad, menurut kamu aku harus gimana Mad?" tanya Nugie meminta pendapat.

"Apa harus ada pelaporan ke polisi?" tambahnya lagi.

"Seharusnya. Tapi...," kata Ahmad berhenti dan melirik Joni yang berada di samping kanannya.

"Kenapa?" tanya Nugie lagi.

Ahmad menundukkan kepalanya, kemudian dia melihat Joni sekali lagi. Selanjutnya Joni membuka pernyataan yang membuat Nugie sedikit tersentak. "Dia mengenal akrab beberapa pejabat kepolisian di wilayah ini! Dan itulah sebabnya bisnis bandar judi togel dan narkoba itu tetap lancar terkendali. Mereka yang memegang kendali bisnis itu," kata Joni.

Nugie memandangi Ahmad yang sedari tadi nampak tidak nyaman dengan pembicaraan kali ini. "Lebih baik kamu mundur aja Nug. Mereka punya sindikat besar. Kalau kamu tetap maju. Risiko ada di kamu!" kata Ahmad.

Di tempat lain, Intan secara sembunyi-sembunyi menemui Vino, "No, aku takut," kata Intan. Ia mengungkapkan kegelisahan itu pada sahabatnya.

"Iya, aku tahu. Kita masih coba cari jalan lain untuk masalah ini. Untuk sementara waktu kamu tinggal di hotel dulu," ujar Vino menenangkan.

"Makasih No. Aku enggak tahu harus bagaimana kalau kamu dan Nugie enggak ada di sini," ujarnya haru.

Beberapa hari berlalu dengan aktivitas masing-masing, Intan masih dalam persembunyian. Sementara itu Nugie mendapatkan teror lagi sewaktu dia berada di jalan raya sepulangnya dia bekerja. Di sebuah jalan, dia dihentikan oleh satu mobil mewah, "Berhenti!" teriak salah seorang di dalam mobil kepada Nugie di tengah jalan yang tiba-tiba menghentikannya. Dua orang berperawakan besar keluar dan mendekatinya.

NUGIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang