BAB 15 - "Dream will never work unless you do"

13 4 0
                                    


Cuaca mulai nampak panas, maklum saja para penumpang sudah mulai berjibun masuk di dalamnya. Dalam perjalanan yang sudah dekat Kota Malang, para pengamen di Stasiun Kota Bangil mulai masuk. Tidak seperti pengamen lainnya, yang ini pengamen dengan peralatan musik yang lebih lengkap. Alunan nada dari permainan musik mereka mengalir begitu merdu, suara parau tapi indah terdengar mulai menyanyikan lirik-liriknya yang mendayu-dayu.

"Keren ya suaranya," bisik Audry pada Vino. Vino masih memandangi pemusik jalanan itu. Baginya, ini adalah sebuah pengalaman baru saat bertemu dengan pengamen kereta Kota Bangil yang terkenal karena keharmonisan musik yang sering mereka mainkan di atas kereta walaupun dengan peralatan musik seadannya.

"Iya, musiknya juga enak, kalau gini kan jatuhnya enak didengerin, daripada pengamen rumahan yang enggak jelas suaranya. Ujung- ujungnya curi sandal," kata Vino dengan masih mengamati mereka semua.

"Jangan gitu dong, mereka kan sama-sama cari duit, dan yang penting mereka usaha bukan meminta-minta," sahut Intan.

"Usaha sih usaha, tapi kalau ngamen terus nyuri sandal sekalian juga bohong Tan," gerutunya.

Vino masih sibuk melihat para pedagang lalu-lalang, dia mengamati dengan saksama para penjaja makanan yang hilir-mudik di depannya dan karena jiwa memamah biaknya muncul kembali. Akhirnya, "Mas-mas nasinya berapaan?" tanyanya.

Nugie terperangah sama seperti Ahmad, "Perasaan tadi kamu sudah makan, bahkan sudah dua bungkus, sekarang masih mau makan lagi?" tanya Nugie keheranan.

Vino tersenyum, dia melanjutkan langkah awalnya untuk memamah biak dengan membuka bungkus nasi itu perlahan, lalu, "Ini dia bahan bakar ke Semeru nanti!" ujarnya tanpa memperdulikan rekannya yang mengomentari segala macam tindak-tanduknya.

"Ya elah, belum juga sampai ngeluarin tenaga, udah makan terus. Dasar! Ntar 5 kilomu datang lagi baru kerasa nanti di Semeru," kata Nugie sambil memukul pelan perut Vino yang besar dan buncit.

"Biarin deh, nanti juga ilang lagi," sahutnya tak menggubris. Ahmad menggelengkan kepalanya dan keheranan dengan nafsu makan Vino yang besar.

Beberapa jam kemudian setelah pergantian kepala kereta di Stasiun Bangil usai dan tepat sekitar pukul setengah 2 siang, mereka berlima akhirnya sampai di Stasiun Kota Baru Malang. Cuaca sejuk begitu terasa ketika mereka berlima menginjakkan kaki di Kota Malang.

"Dingin juga disini!" seru Intan.

"Iya, dingin di sini mbak," kata Audry menambahi. Setelahnya di depan stasiun, Mas Firman dengan tubuh gembul dan berewok tanggungnya beserta rekannya menghampiri mereka berlima. Setelah bertegur sapa dan memperkenalkan Andre sebagai rekan yang akan mendampingi pendakian nanti, mereka pun langsung bergegas menuju angkutan kota yang akan mengantarkan mereka menuju tumpang, pintu masuk ke Gunung Semeru.

"Wah naik angkot. Keren nih!" seru Vino sambil berkeliling melihat mobil tersebut dari ban hingga ke buritan mobil.

"Yang kita perlukan di sana nanti sudah siap?" tanya Mas Firman.

"Sudah mas, sudah siap semua, tinggal logistik kita aja yang belum," jawab Nugie menjabarkan.

"Oke, naikkan semua tas kalian ke atas. Masalah logistik nanti bisa kita beli di Tumpang," kata Mas Firman.

Setelah itu, petualangan pun segera dimulai, angkutan kota yang sudah disewa untuk mengantarkan mereka ke Tumpang mulai meraungkan suara mesinnya. Semua orang di dalam tampak begitu antusias di perjalanan ini.

"Vino, perutmu nanti bisa jadi air bag," celetuk Mas Firman yang membuat seisi mobil tersebut terpingkal-pingkal.

Vino tidak tinggal diam, dia membalasnya dengan sinis. "Ah, kamu juga Mas, perutmu bisa jadi balon gas nanti. Perutmukan lebih gede!"

NUGIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang