Part 26

7.7K 433 34
                                    

Tepat setelah dua hari penetapan tanggal pernikahannya, Raka memutuskan menemui Aira disebuah kafe tempat biasanya mereka bertemu. Raka tidak ingin membuang waktu untuk memberitahukan Aira perihal pernikahannya dengan Laura. Dia sudah memikirkannya selama dua hari ini dengan sangat matang, dan keputusannya tetap menikahi Laura. Dia ingin mengakhiri masalahnya, itu juga akan lebih baik untuk Aira. Jika hubungan mereka berakhir mamanya tidak akan kembali menghina Aira, mungkin wanita itu memang bukan jodohnya.

"Maaf sayang, aku sedikit terlambat." Lamunan Raka terhenti ketika indera pendengarannya menangkap suara wanita yang ia nantikan.

Raka mendongak, memberikan senyumnya untuk Aira, "Gak papa, aku juga baru sampai."

Aira sedikit menelisik, merasa heran dengan sikap Raka yang tak seperti biasanya, "Ada apa? Kenapa wajahmu sedikit tegang?"

Raka tersenyum sumbang, sekentara itukah sampai Aira bisa tau kekhawatirannya?
"Aku gak papa, mungkin itu hanya perasaanmu saja. Oh ya, aku sudah pesan minuman kesukaanmu." Raka mencoba mengalihkan pembicaraan.

Tidak. Aira tidak mungkin salah. Dia sangat tau jika saat ini ada suatu hal yang sedang Raka fikirkan.
"Makasih," Aira mencoba tersenyum, "Tapi, apa ada sesuatu yang penting sampai kamu ngajak aku ketemu disini?" Tanyanya sambil meminun lemon teanya.

Raka mencoba membasahi bibirnya yang terasa kering sekarang, "Iya, ada suatu hal yang ingin aku sampaikan."

"Apa itu?" Tanya Aira dengan sedikit antusias.

Raka menghela nafas panjang sebelum memberitahukan kabar yang akan membuat Aira sakit hati, "Aira a-aku..." Kalimat itu rasanya tak sanggup Raka ucapkan, sekuat tenaga ia mencoba menekan perasaannya saat ini.

"Kenapa Raka?" Aira memandangnya dengan penasaran.

Raka memejamkan mata.
"A-ku akan menikah dengan Laura."

Kalimat itu bagai sebuah petir yang menyambar Aira. Minuman yang ia pegang hampir tumpah. Tangannya gemetar. Nafasnya seakan dipaksa untuk berhenti. Degup jantungnya pun sudah berpacu dengan sangat cepat.

Aira diam tak bergeming, seluruh tubuhnya seakan lumpuh.

Melihat ekspresi Aira membuat hati Raka mencelos. Sudut hatinya terasa sesak. Ia sangat tau kalau sekarang Aira sedang terpukul. Kedua tangan Raka terkepal sebagai pelampiasan emosinya.

"Kamu gak lagi bercanda kan?" Ujarnya dengan susah payah. Suaranya nyaris tercekat.

Raka menggeleng pelan. Nanar. Ditatapnya wanita itu dengan lekat, "Aku gak bercanda. Maaf kalau akhirnya aku memutuskan memilih Laura. Ini yang terbaik untuk kita." Ucapnya dengan serak.

Dengan seluruh rasa sakit dan sesak, kedua mata Aira meneteskan luka. Luka yang seakan membuat hidupnya terjatuh dalam kubangan sakit yang teramat.

"Kenapa kamu melakukan ini Raka?" Aira tertawa getir kemudian mendengus, "Terbaik katamu? Terbaik untuk siapa? Apa aku gak ada artinya lagi di hidup kamu sampai kamu lebih memilih Laura?"

Raka mendekat, meraih kedua tangan Aira dalam genggamannya, "Aira, kamu tau bukan kalau aku sangat mencintaimu, teramat sangat mencintai kamu. Aku melakukan semua ini untuk kebaikan kita. Papa mendesakku menikahi Laura, awalnya aku menolak. Tapi setelah melihat kesedihan kedua orang tuaku saat itu akhirnya aku kembali berfikir, mungkin ini adalah saatnya aku membuat mereka bahagia. Aku sadar selama ini aku sudah sering membuat mereka kecewa

Kamu juga sudah tau kan, selama ini aku sudah berjuang mati-matian mendapat restu dari Papa. Tapi pada akhirnya mereka tetap tidak merestui kita. Aku tidak ingin lagi melihat kamu dihina Mama. Tolong mengertilah Aira."

My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang