Part 36

9.1K 567 47
                                    

"Aku harus membawa Laura pergi untuk sementara An, dia perlu waktu untuk sendiri."

Anna menghentikan pergerakan tangannya yang hendak menyuap makanan, "Membawa Laura pergi?"

Salma menghela nafas kemudian mengangguk, "Ya, aku akan membawanya ke kota kelahiranku. Aku sangat mengerti perasaan Laura saat ini. Dia sangat tertekan, jika dibiarkan kondisinya akan semakin mengkhawatirkan."

"Tapi tidak dengan membawanya pergi kan? Lalu bagaimana dengan Raka? Kamu tau sendiri kalau hubungan mereka berdua sedang memburuk."

Salma meminum kopinya dengan pelan kemudian menaruh gelasnya, dipandangi Anna dengan tatapan lurus, "Aku tau, tapi aku tidak bisa membiarkan Laura terus-terusan seperti sekarang. Raka hanya perlu memberi Laura waktu, hanya sementara saja. Setelah kondisi Laura membaik, aku akan segera membawanya kembali."

Anna menggeleng keras, tak setuju dengan ucapan Salma. Dia tak akan membiarkan Laura pergi.
"Gak bisa Sal, aku takut hubungan mereka berdua akan semakin memburuk. Jika kamu ingin membawa Laura pergi, maka Raka harus ikut. Peran Raka juga sangat penting untuk kesembuhan Laura."

Salma tertawa lemah, matanya menatap tanaman yang ada dihadapannya dengan tak berminat, "Tidak untuk saat ini An, Raka hanya akan memperburuk keadaan, kamu tau sendiri kan bagaimana penolakan Laura?"

Anna memijit pelan pelipisnya, mencoba memikirkan tindakan terbaik. Salma mungkin benar, Laura butuh waktu untuk menenangkan diri. Tapi, jika tanpa Raka ia takut hubungan mereka akan semakin renggang.

Anna menutup kedua matanya, bayangan tatapan kesedihan Laura menari dibenaknya. Menantunya begitu terpukul sampai nyaris kehilangan semangat hidup.

Sejenak ia menghela nafas dalam. Benar kata sang suami, mereka sedang diuji. Kepergian calon cucunya sangat berdampak buruk bagi semua orang. Bagaimana reaksi Raka jika sampai tau bahwa sang istri akan dibawa pergi?

"An, kamu setuju kan? Ini juga untuk kebaikan Laura. Kasihan dia An." Ucap Salma dengan lirih.

Anna mengangguk lemah, dia sadar yang harus menjadi prioritas adalah kesembuhan Laura. Jika Laura sembuh, mungkin kemarahannya terhadap Raka akan menguap.

"Terimakasih An." Salma berujar sambil memegang lembut tangan Anna.

Sedangkan di dalam kamar tempat Laura dirawat. Raka menatap sang istri dengan pandangan sayu. Sejak dua hari yang lalu wanita itu menolak bertemu dengannya. Laura akan histeris jika melihat wajahnya. Ia hanya bisa bertemu Laura saat wanita itu sedang tertidur seperti sekarang.

Raka sangat mengerti, Laura pasti merasa begitu kehilangan sampai menyalahkannya. Dan ia tak akan mempermasalahkannya. Hanya saja Raka merasa gagal menjadi suami saat melihat kondisi sang istri yang sangat memprihatinkan. Laura nyaris seperti raga tanpa jiwa. Tatapannya kosong. Hanya ada kesedihan yang terpancar dimatanya. Kalau bisa Raka ingin melakukan sesuatu agar istrinya bisa sembuh, tapi bertemu dengannya saja Laura enggan.

Raka menghela nafas kasar, "Sampai kapan kamu akan terus seperti ini sayang?"

"Aku sangat merindukan tawamu." Ucapnya dengan begitu lirih. Ia kemudian mengecup kening sang istri dengan perasaan yang membuncah. Raka seolah ingin menyalurkan perasaannya saat ini.

Entah kapan bulir bening itu mengalir di pipinya sampai membahasi wajah sang istri. Raka menangis dalam diam. Bayangan wajah kesakitan Laura kembali memenuhi benaknya. Rentetan kejadian mengerikan itu tak bisa dihapus begitu saja. Pun dengan ingatan akan pertengkarannya dengan sang istri. Raka ingat kala itu ia sempat mendorong Laura sampai membentur pintu. Mungkin calon bayinya saat itu sedang bersemayam dirahim sang istri. Betapa bodohnya dia.

My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang