PROLOG

24.7K 1.7K 155
                                    

DIA duduk di kursi meja dandan, di kamar yang sudah dia tinggali selama 27 tahun. Kebaya biru yang dikenakannya, yang bahannya sudah diterbangkan oleh Bude dari Abu Dhabi berbulan-bulan lalu dan dikirim ke tukang jahit kenamaan di Jakarta, kini seakan mengejeknya. Acara pertunangan sudah dibatalkan berjam-jam lalu, tapi dia belum bisa membuat dirinya melepaskan kebaya atau bangun dari kursi, tempat dia mendengar berita itu. Seakan kalau dia tetap duduk di kursi, mengenakan kebaya, maka semua ini hanyalah mimpi. Bahwa kenyataannya adalah dia tidak ditinggalkan oleh Reiner di hari pertunangan mereka. Bahwa sebentar lagi Reiner akan meneleponnya dan mengatakan dia sudah di jalan dan tidak sabar bertemu dengannya. Bahwa tahun depan mereka akan resmi menikah dan membangun rumah tangga bersama, seperti yang sudah direncanakan. Tapi semua itu tidak akan terjadi karena kenyataannya, dia ditinggalkan oleh Reiner hari ini. 

Ya Tuhan! Bagaimana mungkin dia bisa jatuh cinta pada orang seperti itu? Pengecut yang membatalkan pertunangan mereka dengan tidak muncul sama sekali pada hari H. Setelah terlambat tiga puluh menit dan tidak ada kabar, dia harus menelepon Reiner dengan HP-nya, karena Reiner tidak mengangkat semua panggilan telepon dari nomor lain, untuk menanyakan keberadaannya. Dan hanya untuk mendengarnya mengatakan, "Aku nggak bisa. Aku minta maaf."

Rasa bingung, sakit hati, marah, dan malu yang bercampur aduk membuatnya tanpa sadar menjatuhkan HP ke lantai.

"Ya Tuhan... Reiner nggak akan datang," bisiknya tidak percaya.

​"Reiner nggak akan datang gimana?" tanya Mama bingung. Tapi begitu melihat raut wajahnya, Mama langsung mengerti.

Dia tidak terlalu ingat apa yang terjadi setelah itu, tapi samar-samar dia mendengar Mama memerintahkan seseorang menelepon Reiner lagi. Kemudian beliau meminta semua sepupu, tante, dan bude yang berkumpul di kamar, keluar. Tidak lama setelah itu didengarnya bunyi mesin mobil dinyalakan, dan satu per satu para tamu meninggalkan rumah, sampai akhirnya semua suara reda dan rumah menjadi hening. Sampai detik ini, dia tidak tahu kenapa, tapi tidak ada setetes pun air mata yang keluar. Mungkin kalau dia bisa menangis, tekanan di dadanya akan berkurang. Tetapi yang dia rasakan hanyalah kekosongan.

Dia menoleh ketika mendengar pintu dibuka dan Mama memasuki kamar. Beliau sudah melepaskan kebaya yang dikenakannya tadi, kebaya yang juga khusus dijahit untuk acara ini. "Mama bantu lepas kebayanya yuk," bujuk Mama.

Dia hanya bisa menatap Mama tanpa ekspresi. Bukan pertama kalinya Mama menanyakan hal ini. Dua kali pertama Mama melakukannya tanpa mendapatkan reaksi apa pun, beliau hanya mengangguk dan meninggalkannya sendiri lagi. Tapi tidak kali ini. Beliau berlutut dan mulai melepaskan kancing depan kebayanya satu per satu. Ketika semua kancing sudah lepas, Mama membantunya menanggalkan kebaya itu. "Ayo berdiri, jadi kainnya bisa dilepas juga," kata Mama.

Melihat Mama melakukan ini semua dengan sabar membuatnya tidak bisa lagi menahan tangis. Tatapannya mulai kabur sebelum dia terisak dan berakhir dengan luncuran air mata yang bisa mengalahkan hujan di Inggris. "Cup cup... anak Mama akan baik-baik aja. Kamu akan baik-baik aja," ucap Mama.

Dia hanya bisa memeluk Mama seerat-eratnya. Beliau memang selalu jadi pelampung di lautnya. Dan sekarang dia memerlukannya lebih dari apa pun, karena lautnya sedang diterjang badai.

***

BOY TOY - aliaZaleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang