BOY TOY 15

9.6K 1K 62
                                    

Berminggu-­minggu berlalu dan Lea menyadari dirinya jadi agak terobsesi pada Pentagon, lebih tepatnya pada Taran. Dan dia menyalahkan Bel atas ini semua karena Bel tidak habis-­habisnya mengomporinya. Mereka baru saja kembali ke hotel setelah konser ketika Bel berkata, "Resmi sudah. Setelah malam ini, Taran adalah personel Pentagon kedua favorit gue, di belakang Pierre. Itu cowok sweet banget sama lo. Ngenalin lo ke Pentagoners segala, lagi. Yakin banget gue dia suka sama lo. Mana ada cowok yang berani kehilangan beribu-­ribu fans cewek cuma demi satu cewek, kalau dia nggak serius suka sama cewek itu, coba? Dan cara dia ngomong sama elo waktu di panggung itu lho... Ugh... gimanaaa gitu!"

"Gimana?"

"Kayak dia beneran mau tahu dan peduli sama pendapat lo tentang konsernya. Belum lagi cara dia lihatin lo sebelum kita pulang..."

"Mana lo bisa tahu cara dia lihat gue, lo kan sibuk selfie sama Adam?"

"Bukan berarti gue nggak bisa multi-task, dong. Dan percaya sama gue, dia kelihatan masih mau ngobrol panjang lebar sama lo. Dia nawarin mobil Pentagon untuk antar kita pulang, Le. Mobil Pentagon! Dan lo lihat sendiri mata asistennya sampai hampir loncat keluar waktu dengar permintaan itu. Gue jamin besok dia bakal kontak lo sebelum kita pulang."

Perkataan Bel ini membuat Lea tidak bisa tidur semalaman. Apa Bel benar? Apa Taran memang sesuka itu padanya? Tapi kalau dia mau jujur, perkataan Bel sepertinya memang ada benarnya, karena sebagai perempuan dewasa yang memiliki insting kewanitaan, dia tahu kapan seorang laki-­laki menyukainya. Namun, dia sudah terlalu lama tidak berkecimpung di dunia per­-dating­-an sehingga tidak tahu apakah dia masih bisa me­mercayai insting itu. Dan apakah benar Taran akan mengontaknya lagi? Lea tertidur sambil masih memikirkan ini.

Malam itu tidurnya tak nyenyak, dan Lea baru bisa betul-­betul terlelap menjelang pukul lima pagi. Alhasil, dia terlambat bangun untuk mengejar pesawat pulang ke Jakarta. Di antara ketergesa­annya, dia tidak memikirkan Taran sama sekali sampai dia melihat Bel celingukan di lobi hotel ketika mereka menunggu taksi menuju bandara. Ketika Bel tidak henti­hentinya mengecek HP selama perjalanan menuju bandara, Lea angkat bicara.

"Bel, lo lagi nungguin telepon dari siapa?"

"Oh... nggak... nggak ada," jawab Bel tanpa menatap Lea. Tatapannya terpaku pada HP di genggamannya.

"Jadi kenapa dari tadi lo ngeliatin HP melulu?"
Bel mendongak dan menggigiti bibir bawahnya sambil me­nunjukkan wajah bersalah. "Oke, gue pikir dia bakalan nemuin kita pagi ini, atau setidaknya menelepon."

"Siapa?"

"Taran."

"Hah?!" ucap Lea. Dia sama sekali tidak menyangka perca­kapan mereka bisa berakhir di sini.

"Apa dia lupa ya kalau pesawat kita pagi? Apa jangan-­jangan nomor gue hilang? Mungkin ada baiknya gue yang telepon dia. Nggak, nggak, mungkin lebih baik lo aja yang telepon dia. Gimana? Toh dia sukanya sama elo, bukan gue. Jadi dia bakalan lebih senang kalau lo yang telepon. Iya, itu ide yang lebih baik. Lo bisa bilang lo telepon untuk bilang terima kasih atas tadi malam. Atau mungkin..."

"Bel, lo lagi ngomong apa sih?" potong Lea. Semakin lama Bel berbicara, semakin bingung Lea dibuatnya.

"Taran, Le. Lo mesti telepon dia," ucap Bel sambil menyo­dorkan HP ke Lea, yang mendorong HP itu jauh­-jauh darinya.

"No way. Gue nggak bakalan nelepon dia."

"Lho, kenapa?"

"Satu, karena ini masih pagi, gue yakin Taran masih tidur. Dua, lo kan tahu gue bukan jenis cewek yang bakal nelepon cowok duluan. Tiga, gue nggak ada niat ngomong sama Taran sama sekali."

BOY TOY - aliaZaleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang