BOY TOY 9

8.9K 1K 81
                                    

"MAN... serius deh, lo mesti berhenti ngecek HP lo setiap lima detik. Bikin gue senewen aja," omel Nico.

"Dan bisa nggak sih lo nggak mondar-mandir kayak setrikaan? Nanti lo diomelin sama Mbak Stella kalau sampai keringetan," timpal Erik, yang sejenak mengangkat jemari dari senar-senar gitar.

Otomatis tangan Taran terangkat menyeka kening dan mendapatinya agak basah. Oke, Erik benar, dia harus duduk supaya tidak semakin berkeringat. Dia berjalan menuju sofa tempat Adam dan Pierre duduk. Adam kelihatan penuh konsentrasi, mencoba menggambar sesuatu dengan tangan kiri di buku sketsa yang selalu dibawanya kemana-mana. Tangan kanannya kini diperban erat dari jemari hingga hampir siku untuk membatasi pergerakan pergelangan tangannya yang keseleo. Tanpa mengalihkan tatapan dari layar TV di mana video game Assassin's Creed sedang berlangsung tanpa suara, Pierre bergeser memberi Taran sedikit ruang duduk. Kedua jempol Pierre seperti sedang berperang dengan controller.

Mereka akan naik panggung 45 menit lagi dan semua orang sedang santai dengan rutinitas prakonser masing-masing. Erik bermain gitar sambil mengemut permen, satu-satunya cara supaya dia tidak makan satu jam sebelum konser. Terakhir kali itu terjadi, Erik muntah di tengah konser. Nggak banget deh. Nico melakukan beberapa push-up. Dasar tukang pamer. Adam sibuk dengan sketsa. Dan Pierre sedang sibuk dengan X-box sambil memonyong-monyongkan mulut saking seriusnya.

Meskipun mereka bisa senyap-senyap mendengar suara gemuruh penonton di luar sana, ruang tunggu ini terasa sunyi. Beberapa kru Pentagon berlalu-lalang membuat persiapan akhir. Semuanya terlihat agak kacau, tapi kacau yang teratur. Bali adalah kota kesepuluh dalam tur mereka, jadi semua orang sudah terbiasa dengan segala sesuatunya. Tatapan Taran jatuh ke pakaian yang dikenakannya. Malam ini dia mengenakan kaus Polo biru tua yang kata Mbak Dewi membuatnya kelihatan lebih ganteng, dipadu dengan jins dan sepatu Adidas hitam.

Dilarikannya tatapan ke personel Pentagon yang lain. Adam dengan pakaian serbahitam, membuatnya kelihatan seperti maling. Tapi seperti biru adalah warna Taran, hitam adalah warna Adam. Nico dan Erik sama-sama mengenakan kaus putih tanpa lengan. Mungkin mau sama-sama pamer otot. Hanya Pierre yang mengenakan kemeja lengan panjang kembang-kembang warna-warni. Taran terkadang bertanya-tanya tentang selera berpakaian Pierre, yang menurutnya aneh bin ajaib. Sumpah, dia pernah melihat Pierre maggung dengan kemeja yang kelihatan dibikin dari seprai Ikea.

Di antara keanehan kostum Pierre, Taran bersyukur karena setidaknya MRAM, manajemen Pentagon, tidak pernah memaksa mereka mengenakan pakaian kembar seperti boyband Korea. MRAM justru mengeksploitasi perbedaan mereka. Mungkin karena dengan begitu mereka bisa menggaet pasar yang lebih luas. Setidaknya kalau orang tidak menyukai salah satu dari mereka, masih ada empat lainnya yang bisa mereka gilai.

Taran menyandarkan tubuh ke punggung sofa dan memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Dia tidak merasa tenang sama sekali. Sejujurnya dia merasa seolah kulitnya akan lepas dari tubuh. Dia tidak pernah merasa seperti ini semenjak zaman X-Factor dulu. Dia ingin menyalahkan Bali, karena dari sebegitu banyak kota di Indonesia tempat mereka menggelar konser, ini pertama kali mereka menggelar konser di Bali.

Tapi di lubuk hatinya yang terdalam dia tahu alasan dia merasa seperti ini adalah Lea. Bahwa Lea akan menontonnya menyanyi live. Ugh! Mungkin tidak seharusnya dia mengundang Lea ke konser. Mungkin ada bagusnya juga kalau Lea tidak muncul dan dengan begitu tidak bisa menilai suara atau gaya menyanyinya. Dia tahu dibandingkan personel Pentagon yang lain, bisa dibilang suaranya paling lemah. Sangat lemah sampai-sampai MRAM membuatnya ikut les vokal selama enam bulan pertama dan hanya memberikan dua solo di album pertama mereka yang berisi lima belas lagu. Meskipun sekarang dia sudah diberi lebih banyak solo dan banyak orang mengatakan suaranya unik dan lain dari yang lain, terkadang Taran masih sering tidak percaya diri.

Oh! Mudah-mudahan suaranya bisa terdengar jelas pada solonya di Waktu. Dia harus menyanyikan dua bait solo pada lagu bertempo balada, yang dimainkan hanya dengan piano dan gitar. Sangat akustik sekaligus mimpi buruk baginya, karena tanpa drum atau gitar elektrik mengiringi lagu, semua orang bisa mendengar dengan jelas kualitas suaranya. Dia sudah menyanyikan lagu ini berkali-kali, tapi lagu ini masih membuatnya senewen setiap kali dia harus menyanyikannya.

Dasar hormon sialan! Kenapa dia harus tertarik pada perempuan yang sama sekali tidak tertarik padanya? Sebegitu desperate-nya dia untuk membuat Lea tertarik sampai-sampai dia rela menggunakan ketenarannya untuk membuat Lea mempertimbangkan dirinya. Dia ingin membuat Lea kagum akan kemampuannya memenuhi satu stadion. Kalau bukan karena hormon, dia tidak akan pernah menawarkan tiket VVIP dan backstage pass kepada Bel dan Lea. Dan kalau bukan karena hormon, dia tidak akan senewen tujuh turunan begini. Ya, dia bisa hidup tanpa hormon sekarang.

Taran membuka mata ketika merasakan tangan menyentuh lututnya. Tangan Adam. Dia baru sadar kakinya loncat-loncat sendiri dan tidak sengaja mengguncang tubuh Adam dan tangannya yang diperban. "Sori," ucapnya.

Adam menatapnya penuh tanda tanya, tapi Taran tidak menghiraukannya. Dikeluarkannya HP dari saku celana untuk sekali lagi mengecek apakah ada WhatsApp atau missed call. Tapi hanya wajah adik-adiknya menghiasi layar HP. Jeezzzz!!! Kenapa Lea dan Bel belum muncul juga? Apakah Lea dan Bel memutuskan tidak datang? Apakah mereka tidak mendapatkan tiket yang dia kirim? Apa jangan-jangan tiketnya dikirim ke kamar yang salah? Atau mungkin mereka tidak tahu backstage pass biasanya dipakai sebelum konser dimulai. Dia tahu dia seharusnya berhenti jadi pengecut dan menekan nomor Bel, menanyakan keberadaan mereka, tapi dia takut. Takut pada apa yang akan dikatakan Bel. Bahwa mereka tidak akan datang, atau bahwa Lea tidak ikut.

Sampai detik ini dia masih tidak tahu kenapa dia tidak meminta nomor telepon Lea saja tadi. Apa susahnya sih melakukan itu? Toh dia bisa meminta nomor telepon Bel, kenapa tidak Lea sekalian?

Mungkin karena lo gengsi? Takut nggak dikasih? Makan tuh gengsi!

"Oke, setengah jam lagi, boys!" Teriakan Mbak Dewi menenggelamkan suara hati Taran yang sedang mengatainya.

Erik meletakkan gitar, Nico bangun dari posisi push-up, Pierre mematikan TV, dan Adam menutup buku sketsa. Mbak Dewi lalu berkeliling mengumpulkan HP semua orang. Mereka akan mendapatkannya kembali setelah konser selesai, tapi tidak sewaktu naik panggung. Taran berdebat dengan dirinya, apakah dia mau menyembunyikan HP di saku celana atau memberikannya pada Mbak Dewi. Dia takut kelewatan telepon dari Bel. Tapi kecuali dia mau kena denda lima ratus ribu rupiah gara-gara melanggar peraturan band, mau tidak mau dia menyerahkan HP.

Kemudian mereka berlima membuat lingkaran dengan saling merangkul bahu dan di bawah pimpinan Pierre, mereka mulai berdoa. Betul sekali, kalian tidak salah dengar. Sableng-sableng begitu Pierre paling religius di antara mereka. Dengan nada serius Pierre mengucapkan doa. Setelah semua orang mengatakan "Amin", kompak dengan Pierre, Taran menyentuh kening, dada, bahu kiri, lalu bahu kanan sebelum menarik napas dalam dan merasakan kepanikan lucut dari dirinya.

Kru mulai sibuk mengaitkan monitor ke sabuk masing-masing sebelum memberi Taran mikrofon dengan lakban biru untuk mencegah mikrofonnya tertukar dengan personel lain, yang mikrofonnya dilakban warna-warni. Taran mendengar musik pembuka sedang dimainkan dan suara gemuruh penonton menggila. Kemudian band pengiring Pentagon mulai berjalan keluar menuju panggung dan Taran menunggu hingga Mbak Dewi memberikan sinyal sebelum mulai berbaris. Taran selalu keluar terakhir, di belakang Pierre. Entah bagaimana hal ini terjadi, tapi mereka sudah mengikuti formasi ini semenjak tur pertama bertahun-tahun lalu.

"Oke, go," ujar Mbak Dewi sambil melambaikan tangan.

Dan Taran melangkah ke medan perang.

***

BOY TOY - aliaZaleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang