Baby I don't care if you got her in your heart
All I really care is you wake up in my arms
One last time
I need to be the one who takes you home
("One Last Time" - Ariana Grande)***
Bagian paling menyakitkan dari cinta adalah, kemudian saling membunuh perasaan satu sama lain."Maafkan saya, Nona, Tuan, tapi penyakit yang diderita oleh Nyonya Zan-Ling sudah sangat akut. Kami dari tim medis hampir menyerah untuk menangani kanker rahimnya yang sudah stadium 4. Karena pada tahap ini, sel-sel kanker yang sangat ganas sudah menyebar ke seluruh anggota tubuh."
BRUK!
Davira mendudukkan tubuhnya dengan kasar di atas lantai basement yang dingin. Ia tak peduli bahwa lantai itu lumayan kotor. Yang ia pedulikan adalah bagaimana caranya ia mengusir rasa sesak yang menggerogoti relung hatinya. Menimbulkan rasa nyeri yang membuatnya ingin sekali melukai dirinya sendiri agar dapat menutupi rasa sesak itu.
Ia tentu masih mengingat jelas bagaimana dokter spesialis kanker yang menangani ibunya saat ini, berkata bahwa wanita itu tak dapat tertolong lagi. Hanya dapat ditolong dengan doa dan terapi. Bahkan dengan terapi pun kemungkinan sembuh hanya lima persen. Karena penyakit kanker yang melanda ibunya sudah stadium akhir, di mana sel kanker mulai menyebar ke seluruh anggota tubuh.
Dengan rasa sesak yang tak henti mengusik dalam dadanya, gadis chinesse itu menangkup wajahnya menggunakan kedua tangannya. Ia tahu banyak orang yang berlalu-lalang memandangnya bingung. Tapi ini lebih baik dibanding air matanya dengan jelas dilihat orang lain, seolah memberitahu pada dunia bahwa ia benar-benar menyedihkan saat ini.
Hingga sebuah suara deru motor yang sudah sangat familier di telinganya, datang menuju ke arahnya. Membuatnya mau tak mau mengangkat kepala dari tangkupan dua tangannya, menatap sosok laki-laki idamannya yang masih duduk di atas jok motor. Tapi tak lama kemudian, laki-laki itu turun dari motornya, kemudian berjalan pelan menuju ke arahnya yang kini menatap dengan senyum miring.
"Aku kira kamu nggak akan mau datang," Davira berujar lirih. Jika saja Dika tak mempunyai indra pendengaran yang tajam, dapat ia yakini bahwa ia tak akan bisa mendengar apa yang baru saja Davira sampaikan.
"Lo temen gue, Vira. Ya, mana ada temen yang ngebiarin temennya terluka sendirian?" Dika duduk di samping Davira, menatap lurus ke arah gadis itu yang kini memasang raut wajah sedatar dinding. Tampak tak peduli dengan sosok Dika yang mulai terusik dengan ekspresinya.
"Jangan sedih, dong, Vi. Gue di sini, kok nemenin lo. Dan gue yakin Mama lo pasti baik-baik aja," lanjut Dika tatkala yang dijumpainya hanyalah kesunyian. Karena Davira masih belum mau membuka mulutnya semenjak Dika berbicara beberapa detik lalu.
"Hiks...."
BRUK!
Gadis cantik itu akhirnya menjatuhkan tubuh rampingnya ke tubuh laki-laki di sampingnya. Menyandarkan kepalanya di dada bidang milik Dika. Menangis sesenggukan di sana, meluapkan rasa sesak yang tiada henti mengusik dadanya. Membuatnya ingin sekali melepas rasa sesak itu.
Tapi bagaimana caranya? Bahkan ia sudah menangis sekeras mungkin sejak tadi, tapi nyatanya cara itu tetap tidak membuahkan hasil. Rasa sesak itu terus bersarang di dadanya hingga kini, meski Dika ada untuk memeluknya.
"Ssstt, Davira, Tante Stefani itu wanita kuat. Apapun yang terjadi sama beliau, dia kuat ngadepinnya. Gue yakin itu."
Dika terus saja berucap menenangkan, sembari sebelah tangannya mengusap lengan Davira yang bergetar hebat. Dalam benaknya Dika mengasihani perempuan yang kini ada di pelukannya ini. Dulu, ia tak pernah bisa membiarkan Davira menangis sedetik pun. Sekarang, Dika bahkan terlihat biasa saja ketika Davira menangis dengan kerasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Confused
Teen FictionIni, tuh rumit. Selva Argani suka sama Afrey Andhika, tapi Dika minta dia buat suka sama kakak kandungnya, Ivan yang jatuh cinta sama Selva sejak kecil. Sejak mereka belum bisa ngusap ingus dengan benar. Selva mulai bimbang. Ketika Dika memohon pada...